Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, menegaskan bahwa laut bukan hanya sekadar batas geografis, melainkan merupakan penentu masa depan bangsa.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku bertema “Optimalisasi Valuasi Ekonomi Sumber Daya Kelautan untuk Mendukung Swasembada Pangan Nasional”, karya Dr. Nimmi Zulbainarni, yang digelar Pusat Analisis Keparlemenan (Pusaka) DPR RI di Gedung Parlemen, Rabu (25/6/2025).
“Indonesia harus membangun sektor kelautan berbasis Ekonomi Biru dan Teknologi Industri 4.0 agar lebih efisien, produktif, inklusif, dan lestari,” tegas Prof. Rokhmin Dahuri dalam pemaparannya bertajuk "Valuasi Ekonomi SDA Kelautan Sebagai Dasar Bagi Perencanaan Dan Pengambilan Keputusan Pembangunan Kelautan Dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan Dan Indonesia Emas 2045.”
Ia menyampaikan, valuasi ekonomi sumber daya laut harus menjadi landasan kebijakan, tidak hanya demi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti tiga mandat strategis sektor kelautan dan perikanan.
“Langkah ini krusial untuk mengoptimalkan potensi laut Indonesia sekaligus menjaga keberlanjutannya demi kedaulatan pangan nasional dan visi Indonesia Emas 2045,” ujar Rokhmin Dahuri yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Tiga mandat itu meliputi:
1. Mengatasi Permasalahan Internal Sektor KP, seperti kemiskinan nelayan, overfishing, pencemaran laut, hingga rendahnya kontribusi sektor kelautan pada PDB.
2. Membantu Memecahkan Permasalahan dan Tantangan Bangsa, termasuk pengangguran, stunting, hingga disrupsi teknologi dan perubahan iklim.
3. Mendayagunakan Potensi Kelautan untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045, demi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Sebagai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (2001–2004), Rokhmin juga menyinggung pentingnya redefinisi kemiskinan. Ia menyoroti ketimpangan data antara garis kemiskinan versi BPS dan standar internasional.
“Tapi garis kemiskinan itu sangat rendah sekali sekitar Rp595.242 per bulan. Padahal BPS menyebut garis kemiskinan sejumlah uang yang cukup bagi seorang memenuhi 5 kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan) dalam sebulan,” jelasnya.
Mengutip data Bank Dunia, ia menyebut bahwa jumlah rakyat miskin di Indonesia sebenarnya jauh lebih tinggi jika mengacu pada standar global.
“Maka orang Indonesia yang miskin itu masih 100 juta orang atau 36%, dan disitulah sebagian besar buruh, petani dan nelayan,” tegas Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University ini.
Rokhmin juga memperingatkan tentang ancaman lost generation akibat tingginya angka stunting dan gizi buruk di kalangan anak-anak.
“Yang sangat mencemaskan, 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Implikasinya, jika tidak segera diatasi maka generasi mendatang fisiknya lemah dan kecerdasannya rendah sehingga terancam a lost generation,” tegasnya.
Dengan mengutip standar FAO, Rokhmin menekankan bahwa sebanyak 183,7 juta orang Indonesia (68% populasi) tidak mampu memenuhi biaya harian makanan bergizi yang dibutuhkan.
“Atas dasar perhitungan di atas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut,” ungkapnya.
Seminar ini turut menghadirkan berbagai tokoh nasional seperti Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Soeharto yang memberikan pidato kunci, serta Prof. Bustanul Arifin dari Forum Group ISEI dan pengusaha perikanan Janti Djuari, yang sama-sama menyuarakan pentingnya optimalisasi sumber daya laut demi kedaulatan pangan dan masa depan bangsa.