Jakarta, Gesuri.id - Sejarah sering memberi kita dua jenis cerita. Yang pertama tentang kejayaan besar yang tampak tak tergoyahkan. Yang kedua tentang kejatuhan yang datang perlahan, nyaris tak terasa, hingga akhirnya semuanya runtuh. Kisah bangkrutnya VOC dan merosotnya Filipina dari negara makmur menjadi tertinggal adalah dua contoh kuat bahwa keunggulan hari ini tidak pernah menjamin kemenangan esok hari.
Pada akhir abad ke-18, dunia menyaksikan tumbangnya sebuah raksasa ekonomi yang nyaris tak punya tandingan pada masanya. Vereenigde Oostindische Compagnie, kongsi dagang asal Belanda yang berdiri sejak 1602, pernah menguasai jalur perdagangan Asia dan menjadikan Nusantara sebagai pusat ladang emas rempah rempah. Dari pala dan cengkih yang diperdagangkan ke Eropa, VOC membangun kekayaan luar biasa dan menjelma menjadi simbol kapitalisme awal dunia.
Keistimewaan VOC bukan hanya pada skala bisnisnya, tetapi juga pada kekuasaan yang ia miliki. Perusahaan ini berhak mengedarkan uang sendiri, memelihara tentara, berperang, hingga membuat perjanjian dengan penguasa lokal. Dalam banyak hal, VOC bertindak layaknya sebuah negara. Karena itu, banyak sejarawan menyebutnya sebagai perusahaan terbesar yang pernah ada. Nilai pasarnya bahkan mencapai lebih dari USD 8 triliun, lebih besar dibandingkan dengan gabungan antara Apple, Microsoft dan Meta.
Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri
Namun di balik kejayaan itu, fondasi VOC ternyata rapuh. Memasuki awal 1700 an, penyakit lama mulai menggerogoti tubuh organisasi. Pengelolaan keuangan yang semrawut, pengawasan yang lemah, dan budaya penyalahgunaan wewenang membuat uang perusahaan bocor di mana mana. Setoran dari daerah dipangkas, laporan dimanipulasi, fasilitas perusahaan dipakai untuk bisnis pribadi, dan rakyat pribumi diperas demi keuntungan segelintir orang.
Masalah ini diperparah oleh sistem insentif yang keliru. Banyak pegawai digaji rendah, datang dengan harapan mengubah nasib, lalu tergoda mencari jalan pintas ketika realitas tak sesuai impian. Korupsi pun menjalar dari atas hingga bawah, menjadi praktik yang dianggap biasa. Akibatnya, kas menipis, sementara gaya hidup pejabat justru kian mewah.
Saat persaingan global makin ketat dan biaya ekspansi terus membengkak, VOC kehilangan daya tahan. Utang dipakai sebagai penyangga, tetapi tanpa perbaikan tata kelola, utang hanya menunda akhir cerita. Hingga akhirnya, pada penghujung 1799, pemerintah Belanda resmi membubarkan VOC. Sebuah kekuatan yang pernah menguasai perdagangan dunia selama hampir dua abad berakhir dalam kehinaan. Nama VOC bahkan dipelesetkan sebagai simbol keruntuhan akibat korupsi.
Berabad kemudian, pelajaran serupa datang dari sebuah negara di Asia Tenggara. Pada dekade 1950 an, Filipina tercatat sebagai salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di Asia, bahkan berada di atas Korea Selatan dan Taiwan. Dengan warisan infrastruktur yang relatif baik, kedekatan dengan pasar Amerika, dan sumber daya manusia yang cukup terdidik, Filipina saat itu dipandang memiliki masa depan cerah.
Namun sejarah mengambil arah berbeda. Alih alih melesat, Filipina justru terjebak dalam stagnasi panjang. Ketika Korea dan Taiwan menempuh jalan industrialisasi, membangun birokrasi yang efektif, dan menanamkan investasi besar pada pendidikan serta teknologi, Filipina dililit masalah tata kelola, politik yang tidak stabil, dan praktik rente yang menggerogoti produktivitas. Kini, pendapatan per kapitanya hanya sekitar 4.500 dolar Amerika, tertinggal jauh dari dua negara yang dulu berada di bawahnya.
VOC dan Filipina datang dari konteks yang sangat berbeda, satu adalah korporasi kolonial, yang lain sebuah negara merdeka. Tetapi pesan yang mereka tinggalkan nyaris sama. Keunggulan awal, baik berupa kekayaan, kekuasaan, maupun posisi strategis, tidak akan berarti tanpa tata kelola yang bersih dan visi jangka panjang.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Marsinah Lebih Layak
Dari VOC, kita belajar bahwa organisasi sebesar apa pun akan rapuh jika integritas runtuh. Korupsi bukan sekadar kebocoran keuangan, melainkan racun yang merusak kepercayaan, mematikan disiplin, dan pada akhirnya menghancurkan fondasi institusi. Dari Filipina, kita belajar bahwa modal awal yang baik bisa terbuang sia sia jika negara gagal membangun institusi yang kuat, kebijakan yang konsisten, dan kepemimpinan yang berpihak pada kemajuan jangka panjang.
Keduanya juga mengajarkan bahwa kehancuran jarang datang tiba tiba. Ia hadir pelan pelan, lewat kompromi kecil, pembiaran yang dianggap sepele, dan keputusan jangka pendek yang mengorbankan masa depan. Ketika dampaknya terasa, sering kali sudah terlambat untuk berbalik.
Bagi kita hari ini, pelajaran itu menjadi sangat relevan. Di tengah ambisi membangun ekonomi besar, menarik investasi, dan mengejar pertumbuhan tinggi, sejarah mengingatkan bahwa angka dan proyek megah saja tidak cukup. Yang jauh lebih menentukan adalah kualitas tata kelola, integritas aparatur, kepastian hukum, dan keberanian menempatkan kepentingan jangka panjang di atas keuntungan sesaat.
Runtuhnya VOC dan tertinggalnya Filipina menyampaikan satu pesan yang sama, kejayaan tidak diwariskan, ia harus dijaga setiap hari. Tanpa fondasi moral dan institusional yang kuat, keunggulan apa pun hanya menjadi cerita indah di masa lalu. Dan sejarah selalu siap mencatat, apakah kita mampu belajar, atau justru mengulang kesalahan yang sama.

















































































