Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi lI DPR RI, Aria Bima, mengisahkan kembali perjalanan panjang wayang orang di Surakarta yang pernah mengalami pasang surut.
Menurutnya, seni pertunjukan ini sempat kehilangan panggung, namun sejarah menemukan jalannya hingga bisa kembali berjaya.
“Ketika pertunjukan sempat terhenti, para abdi dalam kehilangan panggung. Namun, sejarah selalu menemukan jalannya sendiri. Mereka bergandengan dengan para juragan Tionghoa,” kata Aria Bima, Sabtu (28/9).
Ia menjelaskan, beberapa juragan Tionghoa yang terlibat antara lain Kan Kam, Li Wat Gi, dan Li Wat Jen. Dari panggung tobong keliling, mereka mulai menerapkan sistem penghutan bayaran.
“Tidak semua pihak setuju. Di kalangan pemangku kagunan keraton Surakarta, wayang orang pemangku negara dianggap jatuh martabatnya. Dicap sebagai seni barangan, seni pengamen, bukan lagi seni istama,” tuturnya.
Meski sempat menuai penolakan, Aria Bima menyebut sejarah wayang orang tidak pernah benar-benar padam. Besarnya animo penonton mendorong Paku Buwono X membuka ruang yang lebih luas bagi pertunjukan ini.
“Justru karena anima penonton yang begitu besar, Paku Bono X akhirnya membuka ruang yang lebih luas. Sejak tahun 1911, ia mengizinkan rombongan wayang orang milik para juragan Tionghoa itu menggelar pertunjukan di Taman Seribu Dari secara bergantian. Di tempat gedung yang saat ini ada di belakang saya,” jelasnya.
Menurut Aria Bima, kebijakan tersebut sekaligus menandai dimulainya transformasi besar bagi kesenian wayang orang.
“Wayang orang tetap dengan menarik bayaran dari penonton. Transformasi ini menjadi pintu masuk babak baru dalam sejarah wayang orang di Solo,” ungkapnya.
Melihat perkembangan itu, keraton Surakarta akhirnya memutuskan untuk mengambil peran aktif dalam pelestarian seni ini.
“Menyadari potensi seni yang luar biasa, keraton Surakarta kemudian membentuk rombongan wayang orangnya sendiri dan memainkan pertunjukan secara tetap di Taman Seribu Dari,” pungkasnya.