Ikuti Kami

Jejak Gedung Sumpah Pemuda dan Sosok Terlupakan, Sie Kok Liong

Sebelum dikenal sebagai Gedung Sumpah Pemuda, Kramat 106 hanyalah salah satu pondokan pelajar di Batavia.

Jejak Gedung Sumpah Pemuda dan Sosok Terlupakan, Sie Kok Liong
Sie Kong Lian, salah satu tokoh Sumpah Pemuda dan pemilik asli gedung Meseum Sumpah Pemuda sekarang. (sumber: https://kuyou.id/homepage)

Jakarta, Gesuri.id - Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda—sebuah momen bersejarah yang menjadi tonggak lahirnya semangat persatuan nasional. Pada 2007 lalu, peringatan ke-79 tahun Sumpah Pemuda dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta.

Namun, di balik megahnya peringatan dan gaung semangat kebangsaan itu, ada kisah menarik tentang gedung bersejarah Kramat 106 dan sosok pemiliknya yang nyaris terlupakan: Sie Kok Liong.

Kisah Sumpah Pemuda berawal pada 27–28 Oktober 1928 di sebuah gedung sederhana bernama Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat 106. Di tempat inilah para pemuda dari berbagai daerah, latar, dan organisasi berkumpul dan mengucapkan tiga ikrar monumental:

1. Bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia.
2. Berbangsa satu, Bangsa Indonesia.
3. Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Kongres ini dihadiri oleh para utusan dari berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pemuda Indonesia, Jong Islamieten Bond, dan Pemoeda Kaoem Betawi. Bahkan, perwakilan dari kalangan Tionghoa pun turut hadir, antara lain Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hock, dan Tjio Djien Kwie—sebuah bukti bahwa semangat persatuan melampaui sekat etnis dan golongan.

Dipimpin oleh Sugondo Djojopuspito dan Muhammad Yamin sebagai sekretaris, kongres itu juga memperkenalkan untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman, yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Sebelum dikenal sebagai Gedung Sumpah Pemuda, Kramat 106 hanyalah salah satu pondokan pelajar di Batavia. Pada awal abad ke-20, banyak berdiri rumah indekos bagi pelajar yang datang dari berbagai daerah. Salah satunya milik Sie Kok Liong, seorang warga Tionghoa.

Gedung ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga ruang berkumpul bagi para pemuda pergerakan. Mereka berdiskusi, berlatih kesenian Langen Siswo, hingga merumuskan gagasan kebangsaan. Setelah berdirinya Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) pada September 1926, gedung ini semakin ramai. Selain menjadi kantor PPPI dan redaksi majalah Indonesia Raya, Kramat 106 juga sering digunakan untuk rapat organisasi pemuda.

Sejak 1928, gedung ini resmi dikenal sebagai Indonesische Clubgebouw atau Gedung Pertemuan Indonesia. Hingga 1934, tempat ini menjadi salah satu pusat gerakan pemuda dan mahasiswa yang berperan besar dalam perjuangan menuju kemerdekaan.

Meski namanya melekat pada gedung yang menjadi saksi lahirnya Sumpah Pemuda, nama Sie Kok Liong hampir tidak disebut dalam buku-buku sejarah. Tak banyak catatan yang tersisa tentang dirinya. Di Museum Sumpah Pemuda sekarang, nyaris tak ada dokumentasi memadai—hanya replika perabotan rumah tangganya yang tersisa.

Namun, dari sedikit jejak yang ada, dapat dipastikan bahwa keberanian Sie Kok Liong untuk membuka pintu rumahnya bagi para pemuda pergerakan adalah bentuk nyata dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan. Ia menanggung risiko besar di masa kolonial, ketika setiap aktivitas politik diawasi ketat oleh polisi rahasia Belanda.

Pertanyaannya, pantaskah Sie Kok Liong disebut pahlawan nasional? Pertanyaan ini mungkin tak mudah dijawab. Tapi yang pasti, tanpa kemurahan hati dan keberaniannya, Kongres Pemuda II mungkin tak akan berjalan seperti yang kita kenal hari ini.

Dari gedung sederhana di Kramat 106, lahir semangat persatuan yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia. Gedung itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda, tempat generasi muda mengenang bagaimana perbedaan justru menjadi kekuatan.

Delapan dekade lebih telah berlalu, namun pesan yang disampaikan para pemuda tahun 1928 tetap relevan: bahwa Indonesia akan kuat jika rakyatnya bersatu, menghargai keberagaman, dan menumbuhkan semangat gotong royong.

Kini, tugas kita bukan sekadar mengenang, tetapi menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda dalam kehidupan berbangsa — memperkuat persaudaraan, melawan intoleransi, dan menatap masa depan Indonesia dengan optimisme.

*Disadur dari artikel karya Eddie Kusuma, Ketua Umum Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia, alumnus KSA XIV/2006 Lemhannas, yang dimuat di Harian Suara Pembaruan pada 24 Oktober 2007.

*Tulisan ini merupakan rangkaian kegiatan Merah Muda Fest 2025 untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 yang akan diselenggarakan Selasa 28 Oktober 2025 di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Jakarta dan Sabtu 1 November 2025 di GOR Among Rogo Yogyakarta.

Quote