Jakarta, Gesuri.id - Di tengah bayang-bayang kekuasaan kolonial Belanda yang menindas, sekelompok mahasiswa muda Indonesia di negeri asing menyalakan semangat nasionalisme yang kelak membakar tekad kemerdekaan bangsa. Mereka menamakan diri Indische Vereeniging, yang kemudian lebih dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia (PI) — wadah tempat benih kebangsaan tumbuh jauh dari tanah air.
Didirikan pada 1908 di Belanda, PI awalnya hanyalah organisasi sosial yang mempertemukan para pelajar Hindia Belanda. Namun, semangat kebangsaan yang menyala di dada mereka segera mengubah arah perjuangan. Dari sekadar tempat berkumpul, PI menjelma menjadi wadah politik yang berani menentang penjajahan dan memperjuangkan hak kemerdekaan bangsanya.
Mereka membawa gagasan besar: menyatukan anak bangsa dalam cita-cita kemerdekaan. Dalam setiap tulisan, diskusi, dan rapat, mereka menegaskan tekad untuk menghapus ketergantungan pada Belanda, menegakkan martabat bangsa, dan menanamkan kebanggaan menjadi orang Indonesia. Namun jalan menuju cita-cita itu tidak pernah mudah.
Diteror dan Dikejar Kolonial
Pemerintah Belanda memandang gerakan mahasiswa ini sebagai ancaman yang berbahaya. Setiap artikel, setiap pernyataan yang lahir dari PI dipantau dengan curiga. Banyak dokumen perhimpunan disita, sejumlah aset dihancurkan, dan para anggotanya diawasi ketat.
Tidak sedikit yang mengalami penangkapan, interogasi, bahkan pembuangan. Keberanian mereka membayar mahal, namun semangat untuk terus bersuara tidak pernah padam. Di balik dinding penjara, mereka menulis. Di bawah ancaman pengusiran, mereka tetap bersidang.
Perpecahan di Tengah Tekanan
Di tubuh PI sendiri, tekanan eksternal diperparah oleh perbedaan pandangan internal. Sebagian anggota menilai perjuangan harus lebih keras, bahkan radikal. Ada yang menaruh simpati pada ideologi komunisme, nasionalisme ekstrem, atau Islamisme.
Namun di tengah perdebatan itu, semangat persatuan tetap dijaga. Mereka sadar: musuh sejati bukan sesama pejuang, melainkan penjajahan yang merampas kemanusiaan bangsanya.
Bayang Fasisme dan Tragedi di Eropa
Tatkala Eropa diguncang perang dan fasisme bangkit, PI kembali dihadapkan pada dilema. Sebagian rakyat Indonesia kala itu memandang Jepang sebagai “penyelamat dari Belanda”, padahal para tokoh PI seperti RM Djajeng Pratomo justru menegaskan bahwa industrialisasi Jepang adalah bagian dari ekspansi kekuatan fasis ke selatan.
PI memilih berpihak pada kemerdekaan sejati, bukan pada penjajahan berganti wajah. Mereka menolak fasisme, baik dari Jerman maupun Jepang, dan menyerukan persatuan mahasiswa Indonesia untuk menolak segala bentuk penindasan.
Namun perjuangan itu dibayar dengan nyawa. RM Djajeng Pratomo dan adiknya, Gondho, dijebloskan ke kamp kerja paksa Nazi di Dachau. Sementara Irawan Surjono, pejuang muda PI, gugur ditembak polisi Nazi saat membagikan pamflet perlawanan di Leiden.
Jejak Abadi Perhimpunan Indonesia
Meski jauh dari tanah air, semangat perjuangan PI menggema hingga ke Hindia Belanda. Dari ruang-ruang belajar di Amsterdam hingga kamp konsentrasi di Jerman, nama mereka tercatat dalam sejarah sebagai pelopor kebangkitan bangsa.
PI bukan sekadar organisasi mahasiswa — ia adalah mercusuar nasionalisme di masa gelap penjajahan, membuktikan bahwa cinta tanah air tak mengenal batas wilayah, bahkan tak gentar menghadapi maut.
Mereka menyalakan semangat yang kelak menyinari jalan kemerdekaan Indonesia. Dan dari perjuangan merekalah, kita belajar bahwa nasionalisme sejati lahir dari keberanian untuk melawan ketidakadilan, di mana pun dan kapan pun ia berdiri. (Referensi: Jurnal Pendidikan Sejarah)
*Tulisan ini merupakan rangkaian kegiatan Merah Muda Fest 2025 untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 yang akan diselenggarakan Selasa 28 Oktober 2025 di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Jakarta dan Sabtu 1 November 2025 di GOR Among Rogo Yogyakarta.