Ikuti Kami

Kongres Pemuda 1928: Didorong oleh Bung Karno?

Bung Karno telah melakukan dan menyelesaikan tugas sejarah kebangsaan dan kemanusiaannya.

Kongres Pemuda 1928: Didorong oleh Bung Karno?
Sukarno muda - Foto: Istimewa

Jakarta, Gesuri.id - Sejarah mencatat, Kongres Pemuda II pada 27–28 Oktober 1928 melahirkan Sumpah Pemuda—titik tolak kesadaran kolektif bangsa menuju kemerdekaan. Namun, di balik momen monumental itu, muncul perdebatan panjang di kalangan sejarawan: apakah Bung Karno turut mendorong pelaksanaan kongres bersejarah tersebut?

Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan diskusi para peneliti sejarah. Sejarawan Anhar Gonggong, dalam artikelnya di Majalah Tempo edisi khusus Sumpah Pemuda (November 2008), menulis bahwa kontroversi ini berakar dari dua kesaksian pelaku sejarah yang saling bertolak belakang: Maskoen dan Abu Hanifah.

Versi Maskoen: Dorongan dari Bung Karno

Maskoen adalah tokoh pemuda generasi 1928 yang kelak menjadi pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) dan ditahan bersama Bung Karno di Penjara Sukamiskin, Bandung. Dalam wawancaranya dengan Anhar Gonggong, Maskoen menyebut bahwa Kongres Pemuda II sejatinya digagas atas dorongan Bung Karno.

Menurutnya, setelah mendirikan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada akhir 1927, Bung Karno ingin menyatukan kekuatan politik dan pergerakan pemuda dalam satu wadah perjuangan. PPPKI menggelar kongres pertamanya pada 30 Agustus–2 September 1928, hanya sebulan sebelum Kongres Pemuda II digelar di Jakarta.

Maskoen menuturkan, Bung Karno kala itu menilai persatuan pemuda sebagai kunci menuju kemerdekaan bangsa. Ia mendorong lahirnya kongres yang mampu mengikat berbagai organisasi kedaerahan dalam semangat satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.

Versi Abu Hanifah: Pemuda Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Berbeda dengan Maskoen, Abu Hanifah—Sekretaris Umum Pusat Pemuda Sumatera (1927–1928) sekaligus Sekretaris Panitia Kongres Pemuda II—menolak anggapan bahwa Bung Karno menjadi penggerak utama. Dalam tulisannya “Renungan tentang Sumpah Pemuda” yang termuat dalam buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (Balai Pustaka, 1978), Abu menegaskan bahwa peran Bung Karno tidak terlalu besar.

Menurutnya, memang para pemuda sering berdiskusi dengan Bung Karno, tetapi mereka tetap menjaga jarak. Pemuda, kata Abu, ingin menunjukkan bahwa perjuangan mereka lahir dari kesadaran sendiri—bukan karena pengaruh tokoh politik mana pun.

Anhar Gonggong: Dua Versi, Satu Tujuan

Menanggapi dua pandangan itu, Anhar Gonggong menilai perdebatan tersebut tidak perlu dipertentangkan secara kaku. “Untuk menjawab pertanyaan historis seperti ini, kita memerlukan keterangan pembanding lain yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Menurut Anhar, baik Maskoen maupun Abu Hanifah berbicara dari sudut pengalaman masing-masing. Yang jelas, Bung Karno telah menjalankan dan menuntaskan tugas sejarah kebangsaan serta kemanusiaannya.

Peran Tidak Langsung Namun Signifikan

Meskipun tak hadir secara fisik dalam kongres, pengaruh Bung Karno terasa nyata. Ia mengirim surat ucapan selamat yang dibacakan dalam pembukaan Kongres Pemuda II, berdampingan dengan surat dari Tan Malaka dan Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Selain itu, lewat PNI yang dipimpinnya, beberapa tokoh seperti Mr. Sunario dan Mr. Sartono aktif membantu panitia, termasuk dalam negosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda agar kongres mendapat izin setelah sempat dihambat.

Dari Bandung, Bung Karno juga terus memantau pergerakan pemuda. Ia menerima kiriman artikel selundupan dari majalah Indonesia Merdeka—terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda—yang menjadi jembatan informasi antara pejuang di tanah air dan di luar negeri.

Istilah “Sumpah Pemuda” sendiri disebut-sebut mulai populer setelah Soekarno sering menggunakannya dalam pidato-pidatonya untuk menggugah semangat persatuan nasional. Sebelumnya, hasil Kongres Pemuda II dikenal dengan sebutan “Poetoesan Congres” atau “Ikrar Pemuda.”

Menyalakan Api Persatuan

Pendirian PPPKI oleh Soekarno pada akhir 1927 memang menjadi titik awal upaya menyatukan berbagai kekuatan politik dan sosial. Dari gagasan persatuan itulah, semangat kebangsaan kian menguat dan akhirnya menemukan momentumnya dalam Sumpah Pemuda 1928.

Ketidakhadiran Bung Karno di kongres kemungkinan besar disebabkan kesibukannya mengembangkan PNI serta pengawasan ketat dari pemerintah kolonial terhadap aktivitas politiknya. Namun, jejak pemikirannya tetap menyala dalam semangat persatuan yang menjadi inti dari Sumpah Pemuda.

Seperti kata Anhar Gonggong, “Bung Karno telah melakukan dan menyelesaikan tugas sejarah kebangsaan dan kemanusiaannya.”

Dan sejarah pun mencatat, bara semangat yang dinyalakan para pemuda 1928 kelak menyala menjadi api Proklamasi 17 Agustus 1945—di bawah suara lantang Bung Karno dan Bung Hatta.

*Tulisan ini merupakan rangkaian kegiatan Merah Muda Fest 2025 untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025 yang akan diselenggarakan Selasa 28 Oktober 2025 di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Jakarta dan Sabtu 1 November 2025 di GOR Among Rogo Yogyakarta. #MerahMudaFest

Quote