Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi lI DPR RI, Aria Bima, kembali menyoroti sejumlah isu fundamental yang harus dibahas secara mendalam dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepemiluan.
Setelah sebelumnya menyinggung soal syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden, kali ini ia memaparkan urgensi pembahasan mengenai parliamentary threshold dan penyelarasan waktu pemilu.
“Yang kedua adalah ambang batas parlement atau parliamentary threshold,” kata Aria Bima mengawali penjelasan lanjutan mengenai isu kepemiluan tersebut, dikutip pada Senin (1/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa aturan parliamentary threshold yang diatur dalam Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 memiliki peran penting dalam menentukan apakah suara yang diperoleh partai politik dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
“Sebagaimana termuat dalam pasal 414 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017, aturan ini mengentukan apakah suara partai dapat dikonversi menjadi kursi DPR. Apakah suara rakyat tidak pernah tiba menjadi keterwakilan karena tersaring di abang batas ini,” tuturnya.
Aria Bima juga menyinggung bahwa ketentuan tersebut telah kembali diuji melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-21/2023.
“Hal tersebut kemudian diperiksa kembali melalui putusan Makamah Konstitusi nomor 116-PUU 21-2023 yang menegaskan pentingnya proportionalitas yaitu kesesuaian antara jumlah suara rakyat dan jumlah kursi yang dihasilkan,” jelasnya.
Selain itu, ia turut menyoroti persoalan keserentakan pemilu yang menjadi pembahasan penting berikutnya.
“Yang ketiga adalah penyelarasan waktu pemilu melalui putusan Makamah Konstitusi nomor 135-PUU 22 tahun 2024 ditekankan pentingnya keserentakan yaitu penyatuan ritme pemilihan agar legitimasi politik di pusat dan di daerah saling menumpang,” ungkap Aria.
Menurutnya, jeda waktu pemilu yang terlalu panjang dapat menimbulkan potensi kekosongan legitimasi politik, khususnya di daerah.
“Jika jeda terlalu panjang dikhawatirkan dapat menimbulkan potensi kekosongan legitimasi politik di daerah,” jelasnya.
Aria Bima menegaskan bahwa meskipun pemerintahan tetap berjalan, tanpa kehadiran DPRD baru hasil pilihan rakyat, mandat pemerintahan belum sepenuhnya utuh.
“Pemerintahan memang tetap berjalan tetapi tanpa DPRD baru hasil pilihan rakyat mandatnya belum sepenuhnya utuh,” paparnya.
Ia menutup pemaparan dengan mengingatkan bahwa penyelarasan waktu pemilu bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut aspek konstitusional yang jauh lebih mendasar.
“Namun ada satu pelapisan yang lebih mendasar. Penyelarasan ini tidak hanya teknis tetapi konstitusional,” pungkasnya.

















































































