Ikuti Kami

Ternyata, Sate Makanan Marhaen Favorit Bung Karno

Sebagai seorang marhaen, tukang sate punya visi perjuangan kelas.

Ternyata, Sate Makanan Marhaen Favorit Bung Karno
Sate jadi makanan kegemaran Bung Karno

Siapa belum pernah makan sate? Gimana rasanya? Selalu ngangenin kan? Itulah sate makanan khas Indonesia yang bikin kangen siapa pun. Bahkan Presiden AS Barrack Obama pun juga tetap ingat makanan yang selalu dijajakan lewat rumahnya dulu saat masih menetap di Jakarta.

Jika Obama saja suka sate, bagaimana dengan Bung Karno? Wah sudah pasti suka! Banyak sekali cerita sejarah yang menyebutkan kalau Bung Karno itu pecinta makanan sate. Pernah suatu ketika di awal tahun 1920-an, seusai berdebat hebat dengan Roestam Effendi, Bung Karno mendadak keroncongan.

“Ayo kita cari sate ke luar, ambil angin!” seru Bung Karno.

Baik Roestam maupun Bung Karno adalah sahabat karib. Keduanya sama sama sedang bersekolah di Bandung waktu itu. Bung Karno belajar di Technische Hoogeschool te Bandoeng, sedangkan Roestam belajar Hogere Kweekschool Bandung.

Kedekatan keduanya terjadi saat mereka bertemu di rumah para pendiri Nationaal Indische Partij, yang merupakan rumah Tjipto Mangunkusoemo. Walau sama sama berliran kiri, toh tak membuat kedua pemuda tersebut akur dalam pemikiran. “Cuma dalam satu hal kita sepaham dan sependapat,” ungkap Roestam, “yaitu agak prihatin dengan banyaknya organisasi-organisasi pemuda waktu itu yang mengibarkan dan mengikuti bendera-bendera kesukuan.”

Roestam pernah menulis tentang makanan sate sebagai favorit Bung Karno sewaktu muda, dalam catatan pendeknya yang berjudul “Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Mudaku”. Kisahnya merupakan bagian Bunga Rampai Soempah Pemoeda, yang terbit pada 1978—setahun sebelum dia wafat.

Sate merupakan hindangan daging ayam yang telah dipotong-potong kecil lalu ditusuk dengan bambu kecil kemudian dipanggang di atas bara arang hingga matang. Asapnya kadang menguar hingga menimbulkan aroma yang mengundang rasa lapar. Saat penyajiannya pun diberi bumbu kacang dan dilumuri kecap. Begitulah sajian hidangan sate sejak tahun 20 an yang masih tetap seperti itu sampai sekarang.

Dalam buku Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, yang terbit pertama kali di New York pada 1965. Di buku tersebut, Bung Karno menyebut jika sate adalah hidangan kaum marhaen di masa penjajahan. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” demikian ungkapnya.

Selain petani, tukang sate adalah profil marhaen sejati. “Kalau begitu engkau adalah Marhaen,” ujarnya sembari menunjuk ke arah tukang sate. “Engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan… Engkau adalah Marhaen.”

Sebagai seorang marhaen, tukang sate punya visi perjuangan kelas. Berbekal peralatan seadanya, mereka bertahan hidup berdagang sambil memikul jualan berkeliling kampung "orang kecil dengan kepemilikan kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri” seperti petani, pedagang keliling, dan tukang sate pikulan.


Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang,” kenang Bung Karno. “Sungguh saat-saat yang menyenangkan.”

Cindy Adams juga menulis ketika Bung Karno terpilih secara aklamasi sebagai presiden pertama dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Gedung Raad van Indië di Pejambon, Jakarta Pusat (kini Gedung Kementerian Luar Negeri RI), dia pulang berjalan kaki. Waktu itu, sehari sesudah RI diproklamirkan, Soekarno belum punya mobil dinas nan mewah.

Di tengah perjalanan, Bung Karno bertemu tukang sate yang tengah berdagang tanpa atasan pakaian alias telanjang dada di pinggir jalan. Sontak Bung Karno memanggilnya dan minta dibakarkan 50 tusuk sate ayam!“Sate ayam 50 tusuk!,” cetus Soekarno mengeluarkan perintah pertamanya sebagai presiden kepada- tukang sate.

Bahkan di malam berikutnya, masih di bulan Ramadhan, Bung Karno pernah menggelar jamuan makan bersama secara bersahaja. Konon, saat itulah jamuan kenegaraan pertama bagi Republik Indonesia. “Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.”

Karena kegemarannya menyantap sate, Bung Karno pun menjadikan sate sebagai hidangan spesial di Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955. Bung Karno secara tidak langsung menjadikan sate sebagai penyambung lidah rakyat Asia Afrika. Para tamu yang hadir saat itu bisa menikmati tusuk demi tusuk sate di jamuan resmi.

Malahan, Bung Karno mengajak Perdana Menteri India dan sederet delegasi negara Afrika untuk singgah dan bersantap di kedai peraciknya, Rumah Makan Madrawi "Madura" atau terkenal dengan sebutan Sate Madrawi.

Begitulah bagaimana sate sudah menjadi penyambung lidah rakyat untuk Bung Karno!

Quote