Tentang Cara Kepolisian Melepaskan Ratusan Demonstran yang Ditahan Akibat Demonstrasi Akhir Agustus 2025 Sebagaimana Dituntut oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB)
Pengantar
Tulisan ini disusun untuk memberikan analisis hukum mengenai kemungkinan dan mekanisme pembebasan ratusan demonstran yang ditahan oleh Polri akibat dugaan keterlibatan mereka dalam demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus 2025.
Permintaan pembebasan ini muncul dari tuntutan Ibu Sinta Nuriyah Wahid, istri almarhum Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mewakili Gerakan Nurani Bangsa (GNB).
Tuntutan tersebut disampaikan melalui kunjungan langsung ke Polda Metro Jaya dan surat yang diserahkan kepada Kapolri, di mana GNB menyatakan kesiapan menjadi penjamin bagi para aktivis yang ditahan.
Tulisan ini juga mencakup latar belakang masalah dan kejadian, prinsip "restorative justice" dan mekanisme "mediasi penal" sebagai pendekatan alternatif penyelesaian perkara.
Juga argumen hukum berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945), Undang-Undang (UU) terkait, serta Peraturan yang berlaku.
Akhirnya, disajikan rekomendasi langkah-langkah yang dapat diambil oleh Polri untuk melepaskan para demonstran, dengan mempertimbangkan prinsip keadilan, hak asasi manusia (HAM), dan stabilitas sosial.
Hukum sejatinya melindungi warga negara khususnya rakyat kecil yang sedang menuntut hak (melalukan protes dan demonstrasi) bukan dipakai sebagai kekuatan penindas seperti halnya terjadi pada hukum kolonial. Inilah yang menjadi "api" dari pledoi "Indonesia Menggugat" dari Bung Karno saat menggugat hukum, penegakan hukum dan peradilan ala kolonial pada tahun 1930.
Sudah 95 tahun peristiwa gugatan itu berlalu, namun abu hukum kolonial masih menempel pada sistem hukum dan penegakan hukum kita hingga saat ini.
Latar Belakang Kejadian dan Masalah
Pada akhir Agustus 2025, tepatnya antara 25 hingga 31 Agustus 2025, terjadi serangkaian aksi demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Jakarta, yang melibatkan ribuan peserta dari kalangan aktivis, mahasiswa, dan masyarakat sipil.
Demonstrasi itu terkait dengan isu-isu politik, ekonomi, dan sosial, termasuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah tertentu yang dianggap merugikan rakyat.
Aksi tersebut berlangsung secara masif dan sebagian besar damai, namun terdapat insiden kerusuhan di beberapa titik, yang menyebabkan bentrokan dengan aparat keamanan.
Sebagai respons, Polri melalui Polda Metro Jaya dan satuan terkait melakukan penangkapan terhadap ratusan demonstran.
Menurut laporan, puluhan hingga ratusan orang ditahan dengan tuduhan tindak pidana seperti kerusuhan (Pasal 170 KUHP), penghasutan (Pasal 160 KUHP), atau pelanggaran terhadap UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Salah satu kasus yang menonjol adalah penahanan aktivis seperti Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, dan lima orang lainnya, yang dikategorikan dalam klaster kerusuhan.
Para tahanan ini ditahan di rutan Polda Metro Jaya dan fasilitas lainnya, dengan status sebagai tersangka dalam proses penyidikan.
Berdasarkan data dari KataData 3 September 2025, tercatat total 3.195 demonstran yang ditahan di seluruh Indonesia selama serangkaian aksi demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus lalu.
Angka ini mencakup penangkapan di berbagai wilayah, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lainnya, yang dipicu oleh isu-isu politik, ekonomi, dan tuntutan reformasi Polri.
Dari jumlah tersebut, sebagian telah dibebaskan setelah asesmen, sementara sisanya sedang diproses hukum sebagai tersangka, termasuk 295 anak di bawah umur.
Sumber dari Polisi juga menyebutkan ada 583 orang yang masih ditahan dan diproses secara hukum.
Pada 23 September 2025, Ibu Sinta Nuriyah Wahid bersama rombongan GNB, yang mencakup tokoh-tokoh seperti mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mendatangi Polda Metro Jaya untuk menjenguk para tahanan.
Mereka menyatakan prihatin atas kondisi para aktivis, yang disebut sebagai "anak-anak bangsa" yang berjuang untuk keadilan Indonesia. GNB mendesak pembebasan segera, dengan menawarkan diri sebagai penjamin, dan menekankan bahwa penahanan ini dapat merusak citra demokrasi Indonesia.
Kapolri menyatakan akan mendalami kasus terlebih dahulu sebelum memutuskan, sambil mengakui tuntutan tersebut.
Masalah ini menimbulkan perdebatan publik tentang keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak berekspresi, antara penghormatan terhadap hak asasi manusia dan stabilitas sosial dan politik.
Prinsip Keadilan Restoratif dan Mekanisme Mediasi Penal
1. Teori Keadilan Restoratif
Keadilan Restoratif atau "Restorative Justice" adalah paradigma hukum yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan komunitas, daripada sekadar hukuman retributif.
Di Indonesia, konsep ini diadopsi untuk mengurangi beban peradilan dan mempromosikan rekonsiliasi.
Dalam konteks demonstrasi Agustus 2025, "restorative justice" dapat diterapkan jika insiden kerusuhan dianggap sebagai konflik sosial, bukan kejahatan berat.
Hal ini telah berhasil diterapkan dalam kasus-kasus serupa, seperti penyelesaian perkara pidana ringan melalui musyawarah.
2. Mediasi Penal
Mediasi penal merupakan bentuk spesifik dari "restorative justice", di mana aparat hukum (seperti Polri) bertindak sebagai mediator antara pelaku dan korban untuk mencapai kesepakatan penyelesaian di luar pengadilan.
Di Indonesia, mediasi ini diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8/2021 dan Peraturan Jaksa Agung No. 15/2020. Tujuannya adalah restorasi kondisi semula, dengan menghindari stigma pidana bagi pelaku.
Untuk kasus demonstran, mediasi dapat melibatkan dialog antara demonstran, aparat keamanan (sebagai "korban" institusional), dan masyarakat.
Jika berhasil, proses pidana dapat dihentikan, dan pembebasan dilakukan. Konsep ini selaras dengan filsafat hukum progresif di UU KUHP (berlaku tahun 2026), yang memprioritaskan keadilan substantif.
Kedua teori ini mendukung pembebasan jika tidak ada korban individu yang menuntut, dan konflik lebih bersifat politik daripada kriminal murni.
Argumen Hukum Berdasarkan Konstitusi, Undang-Undang, dan Peraturan
A. Dasar Konstitusi (UUD 1945)
Konstitusi Indonesia menjamin hak-hak dasar warga negara terkait kebebasan berekspresi dan perlakuan adil dalam proses hukum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran." Demonstrasi sebagai bentuk penyampaian pendapat dilindungi secara konstitusional, selama tidak melanggar hak orang lain atau ketertiban umum.
Selain itu, Pasal 28D ayat (1) menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Penahanan demonstran yang berlarut-larut tanpa bukti kuat dapat dianggap sebagai pelanggaran hak ini, terutama jika motifnya adalah pembungkaman suara kritis. Pasal 28I ayat (2) juga melindungi dari perlakuan diskriminatif, yang relevan jika penahanan ditargetkan pada kelompok oposisi.
B. Undang-Undang Terkait:
1. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum: UU ini mengatur hak demonstrasi sebagai bagian dari HAM. Pasal 2 menyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum adalah hak setiap warga negara. Namun, jika terjadi pelanggaran seperti kekerasan, dapat dikenai sanksi pidana. Pembebasan dapat dilakukan jika terbukti demonstran tidak terlibat dalam kekerasan, atau melalui mekanisme penghentian penyidikan.
2. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia: Pasal 16 mengatur tugas Polri dalam menjaga ketertiban dan penegakan hukum, tetapi juga wajib menghormati HAM. Polri memiliki kewenangan untuk melakukan penangguhan penahanan (Pasal 31 KUHAP) dengan jaminan dari pihak ketiga, seperti yang ditawarkan GNB.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Tuduhan kerusuhan (Pasal 170 KUHP) memiliki ancaman pidana hingga 5 tahun 6 bulan, yang memungkinkan "restorative justice" jika kerugian tidak signifikan. Pasal 21 KUHAP mengatur syarat penahanan, dan Pasal 31 memungkinkan penangguhan penahanan atas permintaan tersangka dengan jaminan. UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (efektif tahun 2026) semakin memperkuat restorative justice di Pasal 53-54, yang memungkinkan mediasi untuk tindak pidana ringan.
4. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Secara khusus mendorong mediasi penal untuk kasus yang melibatkan anak di bawah umur, dengan tujuan menghindari stigmatisasi dan mendukung rehabilitasi. Khususnya pada 295 anak-anak yang ikut ditahan dalam demonstrasi itu.
5. UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (berlaku tahun 2026): Pasal 53-54 memperkuat pendekatan "restorative justice", termasuk mediasi penal, untuk tindak pidana tertentu.
C. Peraturan Kapolri
Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi instrumen kunci. Peraturan ini memberikan pedoman bagi penyidik Polri untuk menghentikan penyidikan perkara pidana jika memenuhi syarat, seperti: Tindak pidana dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun atau denda; Kesepakatan antara pelaku, korban, dan masyarakat untuk penyelesaian damai; Dilaksanakan pada tahap penyelidikan atau penyidikan.
Peraturan ini selaras dengan arahan Kapolri untuk mengedepankan pendekatan humanis dalam penanganan perkara, terutama yang melibatkan isu sosial seperti demonstrasi.
D. Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif: Memberikan wewenang kepada jaksa untuk menghentikan penuntutan jika mediasi berhasil.
Rekomendasi Langkah yang Perlu Dilakukan oleh Kepolisian
Untuk melepaskan para demonstran, Polri dapat mengambil langkah-langkah berikut secara bertahap dan sesuai prosedur:
1. Evaluasi Kasus Secara Internal: Kapolri segera membentuk tim khusus untuk mendalami bukti terhadap setiap tahanan, memastikan hanya yang terbukti melakukan kekerasan yang dilanjutkan prosesnya. Peraturan Kapolri No. 8/2021 bisa dijadikan dasar bagi Tim untuk mengklasifikasikan kasus yang memenuhi syarat "restorative justice".
2. Penangguhan Penahanan dengan Jaminan: Terima tawaran GNB sebagai penjamin (Pasal 31 KUHAP). Ini memungkinkan pembebasan sementara sambil proses berlanjut, dengan syarat tahanan tidak melarikan diri atau mengganggu penyidikan.
3. Implementasi Mediasi Penal dan "Restorative Justice": Fasilitasi mediasi antara demonstran, korban (jika ada), dan perwakilan masyarakat. Jika kesepakatan tercapai, hentikan penyidikan dan bebaskan tahanan. Prioritaskan kasus dengan ancaman pidana rendah.
4. Koordinasi dengan Institusi Lain: Libatkan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau LSM/NGO yang terlibat dengan gerakan hak-hak asasi manusia (HAM) dan reformasi hukum untuk pengawasan independen, memastikan proses transparan dan menghindari tuduhan pelanggaran HAM.
5. Pencegahan di Masa Depan: Keluarkan kebijakan internal untuk penanganan demonstrasi yang lebih humanis, seperti pelatihan aparat dalam de-eskalasi konflik.
Dengan langkah-langkah ini, Polri dapat memenuhi tuntutan GNB sambil menjaga supremasi hukum. Pembebasan akan memperkuat citra Polri sebagai penjaga demokrasi.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, pembebasan demonstran layak dilakukan melalui mekanisme "restorative justice" dan mediasi penal, sejalan dengan konstitusi dan peraturan.
Karena hal ini bukan hanya soal kewajiban hukum, tapi juga langkah bijak untuk rekonsiliasi nasional.