Ikuti Kami

Dari Racun Mayadanawa Hingga Tirta Amerta Dewa Indra: Banjir Hari Ini Bukan Sekedar Takdir Semata

Oleh: Triwiyono Susilo SH, Kader Muda PDI Perjuangan.

Dari Racun Mayadanawa Hingga Tirta Amerta Dewa Indra: Banjir Hari Ini Bukan Sekedar Takdir Semata
Triwiyono Susilo SH, Kader Muda PDI Perjuangan.

Jakarta, Gesuri.id - Dalam mitologi Bali, menceritakan tentang raja yang sombong yaitu Mayadanawa, pada masa kepemimpinannya itu, ia memaksa rakyat untuk menyembah dirinya dan rakyat dilarang menyembah dewanya. 

Tindakan ini melanggar Dharma yang telah merusak kehidupan spiritual dan menggangu keseimbangan alam. Atas perbuatan itu Dewa Indra turun untuk menghentikan perbuatan Mayadanawa, terjadilah peperangan besar antara Pasukan Dewa Indra dengan pasukan Mayadanawa. 

Dikarenakan posisi pasukan Mayadanawa sudah mulai terdesak atas serangan pasukan Dewa Indra, Mayadanawa beserta pasukannya melarikan diri dan dalam pelariannya itu, Mayadanawa melakukan perbuatan licik dengan meracuni setiap mata air, sungai dan telaga yang ia lewati, perbuatan licik itu bermaksud agar pasukan Dewa Indra keracunan ketika meminumnya. 

Perbuatan licik Mayadanawa semata-mata agar menyelamatkan diri dan kekuasaanya tetapi mengabaikan dampak akibat perbuatannya. 

Dalam konteks kekinian, sosok Mayadanawa dapat dibaca sebagai metafora kepemimpinan masa lalu yang memberikan izin pembukaan lahan sawit secara masif, membiarkan hutan-hutan dibabat, menutup mata atas maraknya tambang-tambang ilegal yang merusak daerah aliran sungai dan bekas galian tambang dibiarkan begitu saja tanpa adanya pemulihan dan penataan kembali. 

Kebijakan dan pembiaran tersebut perlahan meracuni “air kehidupan” kita dan yang menyebabkan tanah, hutan, dan sungai akhinya melahirkan bencana ekologis yang saat ini dirasakan oleh rakyat, khususnya di Sumatera yang saat ini dilanda banjir yang telah menelan korban 1.016 meninggal dunia, 212 hilang dan populasi warga yang mengungsi mencapai 624.670 jiwa. 

Banjir, longsor dan krisis lingkungan saat ini bukanlah takdir semesta, melainkan akumulasi dari kepemimpinan seperti Mayadanawa, kepemimpinan yang rela mengorbankan keseimbangan alam demi menyelamatkan diri dan kekuasaanya. 

Selanjutnya dalam mitologi, Dewa indra dalam pengejaran melihat pasukannya keracunan saat meminum air, kemudian Dewa Indra melakukan meditasi dan memohon petunjuk. 

Dari kekuatan sucinya Dewa Indra menciptakan Tirta Amerta, air suci yang mampu menetralisir, menghidupkan kembali pasukanya yang telah mati dan memulihkan seluruh sumber air yang telah diracuni oleh Mayadanawa. 

Akhirnya Mayadanwa dikalahkan, keseimbangan alam dan spiritual kembali pulih, peristiwa ini diperingati sebagai Hari Galungan sebagai simbol kemenangan Dharma atas Adharma. 

Dari mitologi ini, pemimpin yang saat ini menjabat dituntut untuk mengambil peran sebagai Dewa Indra, dengan mengalahkan Mayadanawa dengan cara menetapkan bencana banjir di Sumatera sebagai bencana nasional bukan hanya sekedar keputusan adminsitratif, kunjungan kepada rakyat yang terdampak, tetapi pernyataan dan keputusan moral bahwa negara hadir dan akan bertanggung jawab. 

Lebih dari itu kepemimpinan seperti Dewa Indra harus diwujudkan melalui pemulihan hutan, penataan ulang izin sawit, penindakan tegas terhadap tambang ilegal serta pemulihan aliran sungai agar air kembali menjadi Tirta Amerta yaitu sumber kehidupan bukannya sumber air mata. 

Tetapi jika pemimpin yang berkuasa saat ini gagal belajar dari kisah raja sombong Mayadanawa, maka bencana akan berulang. 

Namun mampu meneladani Dewa Indra, akan ada harapan untuk mengembalikan sumatera dan bumi Indonesia menjadi tanah yang hijau, lestari dan adil bagi generasi mendatang. 

Salam budaya dan rahayu.
 

Quote