Ikuti Kami

Megawati, Kepemimpinan Feminin dan Perubahan Iklim

Oleh: Muhammad Syaeful Mujab - Kader Muda PDI Perjuangan & Analis Kebijakan Publik INSITE Strategi Lulusan Magister Studi Pembangunan

Megawati, Kepemimpinan Feminin dan Perubahan Iklim
Presiden ke-5 RI, Prof Hj. Megawati Soekarnoputri, melakukan penanaman pohon Bodhi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (1/10/2025). Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu didampingi Rektor UGM, Prof. Ova Emilia - Foto: Dokumen DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id - INDONESIA adalah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman. Namun, hal ini sekaligus menjadi tantangan tersendiri. Apalagi di tengah isu krusial perubahan iklim. Tantangannya pun sempat menjadi diskursus yang coba dipantik oleh Presiden RI Kelima, Megawati Soekarnoputri lewat sebuah pertanyaan. "Apa benar pulau kita jumlahnya masih 17 ribu?"

Pertanyaan sederhana Megawati Soekarnoputri di sebuah forum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini bukan sekadar guyon, melainkan alarm tentang betapa seriusnya ancaman perubahan iklim bagi eksistensi negara kepulauan seperti Indonesia. Bagi Megawati, pulau republik ini jumlahnya bisa saja lebih banyak atau lebih kecil, tergerus oleh naiknya permukaan air laut.

Negara kepulauan menjadi yang paling rentan menghadapi ancaman tenggelam, intrusi air laut, dan kerusakan ekosistem pesisir. Persoalan perubahan iklim ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi mempengaruhi eksistensi dan bahkan kedaulatan sebuah negara kepulauan seperti Indonesia dalam berbagai dimensi. Megawati tampak memahami hal ini dengan pendekatan yang khas: reflektif, berakar budaya, namun berpandangan ilmiah.

Ini sebenarnya bukan pertama kali Megawati menyinggung soal isu perubahan iklim. Dalam suatu pertemuan di Roma bulan Februari 2025, Megawati berdiskusi dengan Al Gore, Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, tentang kaitan pemanasan global dan kebakaran hebat yang terjadi di Los Angeles baru-baru ini.

Berkaitan dengan perannya sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati kerap membahas tentang isu pangan dan biodiversitas dengan menekankan pentingnya riset dan inovasi. Ia mengingatkan kembali pesan Bung Karno bahwa urusan pangan adalah "hidup-matinya sebuah bangsa." Maka, inovasi di bidang pangan dan keanekaragaman hayati menjadi kunci membangun ketahanan bangsa di tengah krisis iklim.

Lalu bagaimana perspektif Megawati dalam membangun resiliensi terhadap perubahan iklim?

Kepemimpinan Feminin dan Kearifan Lokal sebagai Fondasi Resiliensi

Ide dan gagasan untuk membangun resiliensi terhadap perubahan iklim bukan hanya bersandar pada hal-hal yang canggih dan sophisticated. Bagi Megawati, bangsa Indonesia memiliki kekuatan kebudayaan dan lokalitas yang mampu menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam menghadapi krisis global.

Lebih lanjut, ia menolak cara pandang antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya. Di alam semesta, manusia perlu mengambil posisi sebagai bagian integral dan tidak terpisahkan dari semesta. Sikap ini sejalan dengan berbagai filosofi Nusantara yang telah mengakkar selama berabad-abad lamanya.

Dalam budaya Jawa, frasa 'Memayu Hayuning Bawana' yang artinya memperindah alam semesta yang sudah indah menegaskan kewajiban manusia untuk menjaga alam semesta, menempatkan manusia pada bagian integral dalam penjagaan eksistensi alam semesta.

Begitu pula dengan konsep Tri Hita Karana dari Bali yang menekankan keseimbangan antara manusia dengan pencipta-Nya, dengan alam semesta, dan dengan sesamanya. Nilai-nilai ini adalah dasar moral bangsa untuk menghadapi krisis ekologi yang kian nyata.

Gagasan Megawati ini memancarkan kekhasan dari kepemimpinan feminin, sebuah model kepemimpinan yang menonjolkan empati, kepedulian serta kemampuan memelihara dan merawat kehidupan. Dalam menghadapi perubahan iklim, alam diposisikan sebagai mitra eksistensial yang harus dijaga keseimbangannya.

Pandangan Megawati ini bertolak belakang dengan gaya kepemimpinan maskulin yang cenderung berorientasi pada penaklukan alam, alih-alih menjaga keseimbangannya. Hal ini mengamini pandangan ecofeminis Vandana Shiva dan Maria Mies (1993) yang pada intinya mengemukakan bahwa kerusakan alam berakar dari cara pandang patriarkis yang memisahkan manusia dari alam serta menganggap keduanya dapat dikendalikan.

Perempuan dan Kepemimpinan Ekologis

Penelitian Mujere (2016) menggambarkan bahwa perempuan dan kelompok miskin paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena ketimpangan peran sosial, ekonomi, dan akses terhadap sumber daya. Perempuan sering menjadi pihak pertama yang merasakan dampak perubahan iklim ketika air bersih menipis, harga pangan naik, atau panen gagal. Hal ini mengafirmasi perlunya perspektif gender dalam kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan yang inklusif.

Megawati tidak sekadar menampilkan simbol kepemimpinan perempuan, tetapi menghadirkan nilai-nilai itu dalam kebijakan yang menyentuh akar kehidupan masyarakat.

Misalnya saja, Megawati kerap menyoroti tentang peran sentral Ibu dan perempuan dalam komunitas. Emak-emak dihimbau untuk lebih kreatif dalam menyajikan makanan di atas meja keluarganya dengan tidak hanya mengandalkan beras sebagai kontributor karbohidrat. Makan tidak harus beras, katanya.

Seruan sederhana ini sejatinya merupakan gagasan politik pangan yang progresif: mengembalikan kedaulatan pangan kepada rakyat, terutama melalui peran perempuan sebagai pengatur konsumsi rumah tangga. Ia mendorong "emak-emak" untuk mengenali kembali pangan lokal seperti jagung, singkong, dan ubi sebagai sumber karbohidrat yang sehat dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Pengaturan pola konsumsi pangan keluarga umumnya dilakukan oleh emak-emak atau ibu rumah tangga. Megawati berpandangan bahwa diversifikasi pangan bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Dan pada pokoknya, emak-emak berperan sentral dalam upaya adaptasi dan membangun resiliensi masyarakat ini.

Melalui pembumian buku "Mustika Rasa", sebuah warisan proyek Soekarno yang mendokumentasikan cita rasa kuliner nusantara, Megawati mendorong masyarakat untuk kembali pada "kompas pangan" bangsa. Pangan lokal adalah simbol kedaulatan, dan dapur keluarga menjadi ruang pertama pendidikan ekologi: tempat nilai keberlanjutan dipraktikkan setiap hari.

Dari Dapur ke Kebijakan

Perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi pangan hingga 30 persen di negara tropis seperti Indonesia, menurut laporan FAO. Meski saat ini Indonesia masih menikmati surplus beras, ketahanan pangan jangka panjang memerlukan strategi yang berkelanjutan melalui riset, inovasi, dan perubahan perilaku konsumsi.

Sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati mendorong riset pangan berbasis biodiversitas lokal. Ia menantang peneliti dan perguruan tinggi untuk mengeksplorasi kekayaan pangan nusantara, serta mengembangkan teknologi pertanian adaptif.

Salah satu contohnya adalah padi biosalin, sebuah varietas padi tahan salinitas yang mampu tumbuh di wilayah pesisir. Adaptasi ini memanfaatkan potensi garis pantai Indonesia sekaligus mengatasi permasalahan kekurangan lahan pertanian di wilayah pesisir. Megawati bahkan meminta kepala daerah dari PDI Perjuangan untuk berkolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) dalam mengembangkan inovasi semacam ini.

Inovasi semacam ini memperlihatkan sinergi antara sains modern dan kepemimpinan berwawasan ekologi: menggunakan pengetahuan untuk melestarikan kehidupan, bukan menguasainya. Kepemimpinan feminin semacam ini melihat sains bukan sekadar alat produksi, tetapi instrumen penyembuhan, baik bagi manusia maupun bagi alam sekaligus.

Kepemimpinan yang Menjaga Keseimbangan

Krisis iklim adalah cermin dari krisis kepemimpinan global: terlalu banyak menaklukkan, terlalu sedikit merawat. Di tengah situasi ini, kepemimpinan feminin menawarkan jalan alternatif, sebuah cara memimpin yang berakar pada empati ekologis, tanggung jawab sosial, dan kebijaksanaan budaya

Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menunjukkan bahwa menghadapi perubahan iklim tidak cukup dengan teknologi semata, tetapi juga membutuhkan pandangan hidup yang berakar pada budaya, nilai-nilai kemanusiaan, dan keseimbangan antara manusia dan alam. Dari dapur rumah tangga hingga laboratorium riset, ia memadukan empati ekologis, riset ilmiah, dan keberanian politik dalam satu tarikan nafas.

Dalam konteks perubahan iklim yang semakin nyata, kepemimpinan feminin bukan hanya relevan, tetapi mendesak. Ia mengingatkan kita bahwa masa depan bumi bergantung bukan pada siapa yang paling kuat, tetapi pada siapa yang paling peduli.

Quote