Ikuti Kami

Saatnya Kemandirian Sistem Produksi Pangan Nasional

Sudah saatnya pemerintah berpikir membangun sendiri sistem produksi ayam dan telur.

Saatnya Kemandirian Sistem Produksi Pangan Nasional
Ilustrasi. Peternak telur dan ayam.

“Pemuda-pemudi! Engkau sekarang hidup dalam satu zaman yang penuh dengan soal-soal, satu zaman yang penuh dengan problem. Salah satu dari pada problem-problem itu ialah problem makanan rakyat”. 

Itulah sepenggal petikan dari pidato Bung Karno saat peletakan batu pertama pendirian sekolah tinggi pertanian yang kemudian dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor (IPB). Pidato yang fenomenal tersebut dikenal dengan pidato Bung Karno mengenai “Soal Pangan Adalah Soal Hidup Matinya Bangsa!”.

Baca: Harga Telur dan Ayam Tinggi, Rahmad: Bangun Sistem Produksi

Bung Karno tak mau menggantungkan urusan pangan negara ini pada produk impor. Ia sadar, kebijakan impor tersebut membuat devisa negara tergerus. Selain itu, kebijakan impor tidak sesuai dengan semangat dalam membangun ekonomi berdikari.

Pangan tak hanya beras, namun urusan pangan protein pun sesungguhnya tidak bisa digantungkan pada impor. Namun, itulah yang terjadi di Indonesia terhadap produk telur dan ayam, dimana bahan baku pakan ayam masih sangat bergantung pada impor, sehingga harga kedua produk pangan protein akternatif itu begitu mudah dipermainkan. 

Sebagai informasi, kandungan bahan impor dalam bahan baku pakan ternak terdapat sekitar 35%. Impor bahan baku pakan ternak berasal dari 5 negara, mulai dari Australia, Brasil, hingga Amerika Serikat (AS). Rinciannya, bungkil kedelai diimpor dari Brasil, Argentina dan AS. Sedangkan tepung daging dari AS, Australia dan Selandia Baru. 

Sementara itu harga telur di pasar tradisional melonjak dalam satu bulan terakhir. Bahkan di beberapa lokasi, harga telur saat ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan saat Lebaran pada Juni kemarin.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menyebut bahwa kenaikan harga telur di beberapa pasar karena adanya kenaikan harga pakan. Dampak dari kenaikan harga pakan tersebut membuat biaya produksi tinggi sehingga para distributor telur ikut serta menaikkan harga ke pedagang.

"Jadi karena bahan pakan tinggi," ujarnya saat di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta, baru-baru ini. 

Amat disayangkan sebab bagi masyarakat menengah ke bawah, daging ayam dan telur tentu menjadi pilihan utama untuk konsumsi sehari-hari. Selain karena kandungan protein hewaninya, harganya juga cukup terjangkau.

Baca: Rahmad: Kata Bung Karno Pertanian Hidup Mati Bangsa

Tercatat, hingga pekan terakhir pada bulan Juli ini, harga ayam dan telur naik. Per kilogram (kg) nya masih jauh di atas harga pasaran atau normal, yakni Rp 36.975 per kilogram (kg). Dan telur pada kisaran Rp 25.000 per kilogram.

Di sela-sela rapat Paripurna DPR RI di gedung parlemen, Jakarta, pekan lalu, kepada gesuri, anggota Komisi IV DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo, menekankan sudah saatnya pemerintah berpikir membangun sendiri sistem produksi ayam dan telur, misalnya penyediaan kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam produksi telur dan ayam. 

Ia mencontohkan pembuatan pabrik pakan ayam dan penggemukan-penggemukan ayam peternakan. Pasalnya, banyak peternak yang enggan meneruskan bisnisnya karena biaya pakan yang mahal.

Politisi PDI Perjuangan asal Boyolali itu juga menilai mungkin saja stok telur cukup, meski fakta di lapangan harga telur tetap tinggi. 

“Ini kan yang menjadi persoalannya.  Disebut juga telur tidak langka, memang benar. Tapi kita melihat, para pedagang, khususnya dipasar-pasar tradisionil terpaksa membeli telur dengan harga yang lebih tinggi. Dari kondisi ini kan kita bisa menyimpulkan bahwa harga telur itu terus melonjak  akibat minimnya pasokan telur dipasaran ?,” ungkapnya.

Menurut Rahmad jika memang stok cukup, perlu diselidiki mengapa ada lonjakan harga. Apakah tata niaga ada masalah atau ada permainan yang dilakukan para pedagang besar ?  

Terkait kemungkinan adanya permainan, seperti penimbunan untuk ‘mengatur’ harga telur, Rahmad tidak mau berspekulasi. Ia mengatakan mungkin saja, tapi sejauh ini belum ada bukti atau temuan  ke arah itu. “Sementara saya sejauh ini lebih yakin harga telur melonjak karena ada persoalan pada ayam,” ujarnya. 

Rahmad menjelaskan jika bicara soal telur, tidak bisa terlepas dari persoalan ayam. Karena itu harus dicari tahu apakah memang benar ada persoalannya di ayam. Kenaikan harga telur memang  didorong berbagai faktor, misalnya kenaikan biaya produksi peternak. Masalah penyakit dan turunnya produktifitas ayam petelur. 

Bisa saja, makanya saya sangat setuju jika para pakar dan ahli ikut dilibatkan guna mengetahui lebih dalam penyakit  yang katanya menurunkan produksi  ayam petelur.

Permainan pedagang besar?

Namun, Ia melanjutkan jika memang ada permainan yang dilakukan pedagang besar, maka tentu saja aparat penegak hukum, dalam hal ini satgas pangan serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus rajin  turun, memantau lonjakan harga telur yang seperti tak berujung ini. 

Menurutnya, bukan rahasia lagi, ketika perusahaan-perusahaan besar bermain dari hulu dan hilir, maka harga bisa dimainkan oleh mereka. “Kita harus paham,  selama sistem hulu hilir ini tidak dibenahi maka situasi seperti sekarang ini akan terus berulang di kemudian hari. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menjadi korban karena tingginya harga komoditas unggas di pasaran. Agak menyedihkan melihat kaum ibu mengantri untuk membeli telur retak dan pecah,” ujarnya.

Baca: Rahmad Handoyo: Kalau Rastra tidak ada, Bulog mau Kemana?

Rahmad juga mengingatkan ke depannya agar hal serupa ini tidak terulang kembali, pemerintah dalam hal ini kementerian pertanian dan kementerian perdagangan harus bergerak cepat. Harus dicari tahu apa sebenarnya yang sebab musabab sehingga harga telur tak kunjung turun. Kemendag dan Kementan harus duduk bersama, mencari solusi mengatasi hal ini. Jangan lagi jalan sendiri-sendiri.

Quote