Ikuti Kami

Urgensi Utusan Golongan bagi Indonesia Raya

Oleh: Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Alumni GMNI, Abdy Yuhana.

Urgensi Utusan Golongan bagi Indonesia Raya
Oleh: Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Alumni GMNI, Abdy Yuhana.

Jakarta, Gesuri.id - Salah satu perubahan terhadap UUD 1945 yang kemudian memantik perdebatan saat ini adalah tekait dengan komposisi keanggotaan dari Majelis Permusyawaratah Rayat (MPR).

Sebelum perubahan terhadap UUD 1945,  Pasal 2 Ayat 1, disebutkan bahwa MPR terdiri dari Anggota-anggota DPR, Utusan-utusan dari Daerah dan Golongan-golongan. Sehingga di dalam MPR yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, merepresentasikan semua kekuatan yang ada di dalam negara. DPR merupakan representasi politik dari Partai Politik, Utusan-utusan Daerah representasi yang didasarkan pada kewilayahan dan Utusan golongan yang merupakan representasi yang mewadahi keanekaragaman yang ada di Nusantara. Dus, urusan dan arah negara dirumuskan oleh semua kekuatan politik yang ada di dalam Negara Republik Indonesia. Luar biasa !

Komposisi keanggotaan  MPR kemudian berubah setelah dilakukan perubahan UUD 1945, dalam kurun waktu empat tahun saja, dimulai Tahun 1999 sampai Dengan Tahun 2002. Setelah itu, dalam MPR hanya ada dua keterwakilan yaitu keterwakilan Politik (DPR), yang pengisian jabatannya oleh Partai Politik melalui Pemilihan Umum dan keterwakilan yang didasarkan pada kewilayahan (DPD) yang juga pengisiannya melalui pemilu. DPD merupakan institusionalisasi dari Utusan Daerah yang jumlahnya ditentukan 4 orang dengan tidak melihat jumlah penduduk di masing- masing Provinsi. Pengisian jabatan lembaga-lembaga negara tersebut secara berkala dilakukan lima tahun sekali.

Baca: Abdy: Mengabdi Pada Bangsa, Alumni GMNI Ada Dimana-mana

Lalu, Bagaimana dengan nasib utusan golongan di MPR?

Setelah perubahan UUD 1945, keberadaan Utusan Golongan karena dianggap sudah tidak relevan, ditiadakan atau dihapus dari komposisi Keanggotaan MPR. 

Ada beberapa alasan dihapuskannya Utusan Golongan di MPR, diantaranya adalah, Pertama, pengangkatannya yang dianggap cenderung tidak fair karena dalam praktik di masa Orde Baru, pengisiannya diangkat oleh Presiden. Kedua, dalam konteks sistem perwakilan yang mereplikasi sistem bikameralisme tidak dikenal keterwakilan golongan. Hal tersebut disebabkan dalam sistem bikameral hanya dikenal dua keterwakilan yaitu Politik (DPR) dan Kewilayahan (DPD).

Jadi, dalam lembaga perwakilan rakyat di Indonesia hasil perubahan UUD 1945, utusan golongan dianggap tidak perlu. Dan ini sangat memprihatinkan karena menihilkan keanekaragaman atau kebhinekaan Nusantara.

Melihat dari alasan mengapa utusan golongan dihapus, sesungguhnya jelas bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia dalam konteks sistem perwakilan ingin mereplikasi sistem ketatanegaraan dengan konsep bikameralisme seperti di Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu, Kongres dalam sistem perwakilannya terdiri  dari dua yaitu House of Representatif (Partai Politik) dan Senat (kewilayahan). Di negara-negara Barat lainnya seperti di Belanda juga serupa, yaitu (Staten-Generaal der Nederlanden) adalah badan yang terdiri dari Eerste Kamer (Kewilayahan) dan Tweede Kamer (Partai Politik).

Meskipun dalam pelaksanaannya sistem perwakilan dengan keterwakilan di Indonesia, pun pasca perubahan UUD 1945 mengalami ke tidak jelasan karena banyak terjadi anomali dalam sistem perwalian di dalam lembaga perwakilan rakyat, seperti  fungsi DPD yang ‘banci’, alias tidak memiliki kewenangan legislasi.

Pertanyaannya adalah apakah kemudian sistem ketatanegaraan di Indonesia dalam konteks sistem perwakilan di lembaga perwakian rakyat  harus sama dengan negara-negara lain seperti di Amerika Serikat ataupun di Belanda?

Hal yang sederhana dalam sebuah ilustrasi, apakah semua rumah arsitekturnya dan konstruksinya harus sama, meskipun luas tanah serta  jumlah orang dalam keluarga nya berbeda? Atau rumah tersebut harus menyesuaikan dengan luas tanah dan jumlah orang dalam keluarga?

Jika diandaikan sebagai sebuah ‘rumah’ tentunya ‘rumah’ Indonesia berbeda dengan ‘rumah’ Amerika Serikat, ‘rumah’ Belanda dan ‘rumah’ lainya. Perbedaan substantif yang mendasari Indonesia dengan negara-negara lain adalah tentunya dalam konteks geopolitik. 

Geopolitik Sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno dalam peresmian Lemhanas pada tanggal  20 Mei 1965, dikatakan bahwa geopolitik adalah pengetahuan keadaan, pengetahuan segala sesuatu yang berhubungan dengan geografische constellatie suatu negeri.

Sebagai wilayah kepulauan yang terletak diantara dua benua dan dua samudera maka Nusantara mempunyai beberapa kondisi objektif sebagai berikut : Pertama, negara kepulauan, Kedua, terletak diantara dua benua dan samudera, ketiga, sumber kekayaan alam yang berlimpah. Keempat, pluralis sukunya, kelima, kultur bangsa yang beragam yang berinduk pada unsur-unsur asli Indonesia. 

Melihat geopolitik Indonesia tersebut dapat dipastikan bahwa kita, Indonesia berbeda dengan negara manapun. Maka, kemudian tidak bisa dipaksakan harus sama dengan mereplikasi sistem ketatanegaraan negara-negara lain. Jika melihat Keindonesiaan kita, dengan keberagaman dan potensi yang luar biasa, konsep negara -staat yang digagas para pendiri bangsa, sungguh visioner dengan sistem MPR yang mewadahi keanekaragaman Indonesia dalam satu lembaga yaitu MPR. Semua keterwakilan diakomodasi, dalam konteks itu maknanya adalah bahwa urusan negara tidak bisa diserahkan oleh salah satu cabang kekuasaan negara seperti praktik bernegara yang saat ini terjadi, ketika urusan negara diserahkan kepada Presiden dengan alasan untuk menjalankan janji- janji kampanye Presiden pada saat berkontestasi.

Urusan negara yang begitu kompleks tidak bisa juga hanya dibincangkan oleh dua perwakilan yaitu Partai Politik dan daerah tanpa melibatkan perwakilan golongan yang ada di Nusantara. 

Dengan melihat kebhinekaan yang dimiliki Indonesia yang juga sekaligus menjadi modal sosial dalam bernegara, baik suku, agama, ras dan antargolongan menjadi urgen agar dalam sistem perwakilan yang terwadahi dalam lembaga MPR, kembali menerapkan sistem perwakilan yang mengakomodasi semua kalangan. Sehingga urusan negara menjadi tanggung jawab bersama seluruh kekuatan, komponen yang ada di dalam negara, yaitu Perwakilan politik (DPR), keterwakilan daerah (DPD) dan keterwakilan fungsional (Utusan Golongan).

Baca: Abdy : Indonesia Butuh 'Rute' Untuk Raih Kemajuan!

Dengan hadirnya kembali Utusan golongan dalam lembaga MPR, kedepan keindonesiaan akan lebih terjaga. Persatuan nasional menjadi kesadaran bersama semua komponen bangsa dan dengan segera dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia meninggalkan sistem liberal, yang hanya bertumpu pada salah satu cabang kekuasaan negara yaitu Presiden, dalam arah pembangunan negara. 

Negara juga harus ‘mendengar’ apa yang menjadi ‘maunya’ kekuatan negara yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, seperti kelompok adat, raja-raja yang sampai saat ini eksistensinya masih terjaga dan kekuatan lainnya yang memiliki kontribusi bagi terjaganya keindonesiaan yang terwadahi dalam utusan golongan.

Ide para pendiri bangsa yang visioner, dimana pembangunan negara dan persatuan nasional secara bersama-sama diwujudkan melalui arah bernegara yang berkesinambungan, direncanakan, dirumuskan dan dibentuk dengan konsep semua golongan masyarakat terwakili dalam lembaga MPR urgensinya menjadi sangat relevan. 

Arah bernegara atau konsep pembangunan nasional akan membawa Indonesia menjadi lebih baik dan akan mencapai tujuannya jika memiliki haluan negara. Dan semua itu bisa diwujudkan jika di dalam lembaga MPR terdiri dari Perwakilan Politik (DPR), Perwakilan Daerah (Utusan Daerah) dan mengembalikan Utusan Golongan untuk mewadahi Kebhinekaan di Nusantara.

Quote