Ikuti Kami

Waspadai Pelebaran Defisit, Jaga Kesinambungan Fiskal

Oleh: Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo.

Waspadai Pelebaran Defisit, Jaga Kesinambungan Fiskal
Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo.

Jakarta, Gesuri.id - Tahun ini, kondisi makroekonomi Indonesia sedang mengalami guncangan hebat akibat pandemi. Koreksi atas target makroekonomi pun tak terelakkan sehingga terbit Perppu1/2020 yang sudah menjadi UU No.2/2020 dan Perpres 54/2020. 

Terbukti baru di triwulan I-2020 saja realisasi indikator makro ekonomi meleset jauh dari target APBN. Ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 2,97%, inflasi tumbuh 2,67% (yoy), nilai tukar rupiah terhadap USD melemah di Rp14.642, dan turunnya harga minyak di USD 44 per barel.

Sebagai reaksi atas rentannya kondisi fiskal, Pemerintah kembali mengantisipasi melalui rencana revisi Perpres 54/2020. Biaya penanganan pandemi, baik kesehatan, jaminan sosial, dan stimulus ekonomi meningkat, dari Rp405 T menjadi Rp677,5 T, dan akan meningkat lagi menjadi Rp695,2 T. Kondisi ini membuat beban pemerintah semakin berat. Pelebaran deficit tak terelakkan. 

Namun lebih dari itu, Pemerintah perlu segera mempersiapkan skenario pemulihan yang lebih komprehensif demi kesinambungan fiskal.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami menyampaikan pandangan sebagai berikut:

1. Meningkatnya belanja negara untuk penanganan Covid-19 membuat pelebaran deficit menjadi tak terelakkan. Sejak awal disusun, defisit APBN hanya ditargetkan sebesar Rp307,2 T (1,76% PDB) atau tidak melebihi 3% PDB agar sesuai dengan amanat UU No.17/2003 Tentang Keuangan Negara.

Namun akibat pandemi, UU No.2/2020 mengizinkan defisit di atas 3% PDB sampai dengan tahun 2022. Akibatnya, defisit dikoreksi menjadi Rp852,9 T (5,07% PDB) sesuai Perpres No.54/2020. Sekarang, berdasarkan outlook, defisit APBN diperkirakan akan menyentuh angka Rp1.039,2 (6,34%PDB). Demi menjaga kredibilitas dan akuntabilitas, Pemerintah perlu menghitung secara cermat proyeksi kebutuhan biaya dan potensi pendapatan sehingga tidak terlalu sering mengubah Perpres.

Di samping itu, pemerintah perlu menyusun kembali strategi komprehensif menuju defisit di bawah 3% pada tahun 2023. Upaya ini harus dilakukan dengan perhitungan yang cermat, penuh kehatihatian, disiplin tinggi, dan kredibel sehingga menjamin kesinambungan fikal dalam jangka menengah maupun jangka panjang.

2. Pelebaran defisit yang berimbas pada penambahan utang dan bunga utang akan mengancam kesinambungan fiskal sehingga hal ini perlu dicermati dan diantisipasi. Kebijakan fiskal yang tidak berkesinambungan berimplikasi langsung pada country risk Indonesia.

Peningkatan country risk berpotensi menurunkan peringkat investasi yang selama ini sudah berangsur membaik. Tentu saja, kondisi ini dapat menghambat investasi yang akan masuk ke Indonesia sehingga berpotensi mengancam target-target pembangunan jangka panjang yang sudah ditetapkan.

3. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan amunisi yang meyakinkan, yaitu kebijakan fiskal yang berkesinambungan yang dapat menjaga stabilitas makroekonomi. Salah satu aspek penting adalah kinerja penerimaan negara yang mumpuni, khususnya pajak.

Kondisi tahun ini sangat berat sehingga penerimaan pajak sangat tertekan, apalagi demi mengatasi dampak pandemi dan pemulihan ekonomi nasional telah digelontorkan insentif pajak sejumlah Rp123,01 T . Sinyal perlambatan penerimaan pajak yang di tumbuh melambat -3,09%(yoy) di April harus diwaspadai.

Ada risiko shortfall pajak yang bisa mencapai Rp388 T atau bahkan lebih. Tanpa kalkulasi cermat dengan risiko melebarnya shortfall yang sangat terbuka, maka akan memperlebar defisit dan menambah beban utang.

4. Kami mendorong segera disusun skenario konsolidasi fiskal yang solid dengan target defisit yang terukur menjadi di bawah 3% pada tahun 2023 dan outlook penerimaan pajak yang realistis dan menjanjikan.

Langkah-langkah konkret untuk optimalisasi penerimaan pajak harus segera diambil, antara lain implementasi penggunaan NIK dalam setiap transaksi untuk ekstensifikasi basis pajak dan efektivitas pemungutan PPN, penerapan metode yang lebih sederhana agar pemungutan PPN lebih efektif, pemanfaatan data dan informasi perpajakan yang lebih optimal dan transparan, dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Quote