Jakarta, Gesuri.id — Tanggal 27 Juli 1996 tak bisa dihapus dari ingatan sejarah politik Indonesia. Hari itu bukan sekadar bentrokan berdarah di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta. Lebih dari itu, peristiwa ini adalah ledakan amarah yang terpendam dan wujud tekad rakyat mempertahankan pilihan politiknya: Megawati Soekarnoputri.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dalam diskusi bertema Peristiwa 27 Juli 1996 sebagai Tonggak Demokrasi Indonesia. Diskusi ini turut menghadirkan pelaku sejarah Jacobus Mayong dan sejarawan Hilmar Farid.
Ribka menceritakan bahwa pada masa itu hanya ada tiga partai politik, dan pemerintah Orde Baru seolah menciptakan suasana demokratis—padahal hasil pemilu selalu bisa ditebak.
“Ini seperti demokrasi yang dicipta-paksakan. Mahasiswa waktu itu sempat bilang, di Filipina pemilu paling cepat diketahui siapa pemenangnya. Tapi kalau menurut gue, di Indonesia, lima tahun sebelum pemilu pun kita sudah tahu pasti Golkar yang menang,” ujar Ribka di Aula Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Minggu (27/7/2025).
BaCa: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Ia mengingatkan bahwa kemenangan Megawati dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, 2–6 Desember 1993, membuat pemerintah Orde Baru ketar-ketir. Kemenangan itu tidak diakui. Dukungan terhadap Megawati dilarang. Pemerintah bahkan mendorong digelarnya kongres tandingan di Medan.
“Modalnya Megawati cuma satu: rakyat. Tentara dukung Suryadi, yang punya duit juga di kubu Suryadi. Sementara Megawati? Dia hanya didukung rakyat. Dan dia menang karena rakyat,” tegas Ribka.
Ia juga menceritakan bahwa sikap politiknya saat itu membuat klinik miliknya ditutup. Namun, ia tidak menyesal. Justru pengalaman itu menjadi pelajaran penting bahwa tekanan dari kekuasaan harus dilawan, bukan ditakuti.
“Buat gue, lebih baik mati berdiri di depan lawan, daripada harus berlutut di hadapannya,” ucapnya lantang.
Senada dengan itu, Jacobus Mayong menekankan bahwa konsistensi adalah sikap mahal, sedangkan pragmatisme selalu punya alasan pembenar.
“Saya berharap apa yang kita lakukan hari ini bukan sekadar seremoni, tapi benar-benar dimaknai sebagai bentuk perjuangan yang seharusnya,” kata Mayong.
Ia juga menyinggung ketimpangan dan kemiskinan yang terus membelenggu rakyat Indonesia.
“Catatan Bank Dunia menyebutkan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin. Kenapa? Padahal republik ini, dari Sabang sampai Merauke, kalau dipetakan ke Eropa, bisa menutupi seluruh benua itu. Eropa tidak punya hutan, tidak punya emas, tidak punya batu bara. Tapi kenapa Indonesia masih miskin? Artinya, ada yang salah.”
Mayong juga mengingatkan bahwa turunnya Soeharto hanyalah simbol perubahan, bukan jaminan reformasi tuntas.
“Soeharto memang sudah kita turunkan. Tapi itu hanya simbol. Apakah KKN benar-benar hilang?” ujarnya.
“Karat itu berawal dari titik kecil. Tapi kalau dibiarkan, besi yang kokoh pun bisa keropos,” tambahnya.
Sejarawan Hilmar Farid menilai bahwa peristiwa Kudatuli menjadi bukti nyata bahwa Orde Baru takut pada kekuatan politik Megawati, yang saat itu mendapat dukungan luas dari rakyat.
“Karena dianggap sebagai ancaman, maka segala cara digunakan untuk meredamnya—mulai dari jalur legal, intimidasi, hingga penculikan. Semuanya dilakukan demi menumbangkan kekuatan yang tengah bangkit ini,” jelas Hilmar.
BaCa: Ganjar Tegaskan Negara Tak Boleh Kalah
Ia menekankan bahwa peristiwa Kudatuli seharusnya tidak hanya dikenang, tetapi dijadikan sumber inspirasi dalam menjaga demokrasi saat ini.
“Peristiwa ini harus hidup sebagai inspirasi, terutama bagi generasi baru yang bergabung dengan PDI Perjuangan. Caranya? Dengarkan para pelaku sejarah itu sendiri,” pungkasnya.
Talkshow ini menghadirkan sejumlah pelaku sejarah, seperti Ribka Tjiptaning dan Jacobus Mayong, serta sejarawan Hilmar Farid. Diskusi dimoderatori oleh anggota DPR RI, Denny Cagur. Acara ini bertujuan mengingatkan publik, khususnya generasi muda, bahwa demokrasi yang dinikmati hari ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan.
Terlihat hadir dalam rangkaian acara ini jajaran DPP PDIP seperti Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani, Ronny Talapessy, dan Deddy Yevri Sitorus.
Hadir pula Wakil Sekjen DPP PDIP Yoseph Aryo Adhi Darmo serta Wakil Bendahara Umum PDIP Yuke Yurike. Guntur Romli hadir sebagai pemimpin doa di acara tersebut.