Jakarta, Gesuri.id - Pengurus DPP PDI Perjuangan bersama Forum Komunikasi Kerukunan (FKK) 124 serta para korban peristiwa 27 Juli 1996 menggelar prosesi tabur bunga dalam rangka memperingati 29 tahun serangan terhadap kantor DPP partai pada 27 Juli, yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Tabur bunga dilaksanakan di kompleks Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada Minggu (27/7/2025).
Sebelum prosesi tabur bunga dimulai, acara diawali dengan doa bersama untuk para korban yang gugur dalam peristiwa Kudatuli.
Baca: Ganjar Dorong Delapan Parpol di DPR RI Duduk Bersama
Terlihat hadir dalam rangkaian acara ini jajaran DPP PDIP seperti Ribka Tjiptaning, Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani, Ronny Talapessy, dan Deddy Yevri Sitorus.
Hadir pula Wakil Sekjen DPP PDIP Yoseph Aryo Adhi Darmo serta Wakil Bendahara Umum PDIP Yuke Yurike.
Usai doa, Ribka mengajak seluruh elite PDIP untuk memulai prosesi tabur bunga, dimulai dari gerbang depan kantor DPP PDIP, lalu dilanjutkan ke halaman dan area parkir kantor partai.
Prosesi ini diiringi lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki, menciptakan suasana khidmat dan penuh haru. Tak sedikit korban maupun keluarga korban yang menitikkan air mata mengenang peristiwa tersebut.
Ribka juga mengajak peserta menabur bunga di titik-titik di mana para korban Kudatuli gugur.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng sebagai bentuk penghormatan kepada para korban dan keluarga mereka.
Dalam kesempatan itu, Ribka meminta kepada jajaran DPP PDIP yang kini menjadi anggota DPR RI untuk memperjuangkan nasib keluarga korban serta menertibkan arsip peristiwa Kudatuli—yang juga disebut Sabtu Kelabu—agar tidak hilang dari sejarah bangsa.
“Kader itu harus tidak boleh lupa dengan Kudatuli. Tonggak terjadinya reformasi itu dimulai dari sini,” ujarnya.
Ribka juga mengenang peran Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi simbol perlawanan rakyat atas represi Orde Baru, terutama setelah kekuasaan mencoba menggulingkannya lewat rekayasa dualisme kepemimpinan partai.
“Saat itu Megawati dizalimi Soeharto, lalu diadu dengan bonekanya, Suryadi. Terjadilah perlawanan rakyat. Di tempat ini terjadi perampasan gedung, dan peristiwa serupa meluas ke daerah-daerah,” tegas Ribka.
“Bukan cuma Diponegoro 58. Di daerah-daerah pun terjadi perampasan kantor-kantor partai. Harusnya seluruh fraksi ingat akan hal ini.”
Seorang saksi mata peristiwa Kudatuli yang hadir dalam acara tersebut menyampaikan harapan agar pemerintah mengakui penyerangan 27 Juli sebagai pelanggaran HAM berat.
“Hari ini hari yang sakral. Kita harus terus perjuangkan kawan-kawan kita yang gugur,” katanya.
“Kami tidak lupa, 27 Juli,” pekiknya sambil mengepalkan tangan kiri.
Sebagai informasi, pada 27 Juli 1996, massa pendukung PDI kubu Soerjadi, yang didukung oleh unsur aparatur negara, menyerang kantor DPP PDI yang saat itu diduduki oleh para pendukung Megawati Soekarnoputri.
Baca: Ganjar Tegaskan Negara Tak Boleh Kalah
Penyerangan ini menjadi bagian dari upaya rezim Orde Baru menggulingkan kepemimpinan Megawati.
Kerusuhan kemudian meluas ke berbagai titik di Jakarta, terutama di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.
Laporan Komnas HAM menyebutkan, sedikitnya 5 orang pendukung Megawati tewas, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang kerusuhan, dan banyak dari mereka kemudian dijebloskan ke penjara.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli, singkatan dari Kerusuhan Dua Tujuh Juli, atau Sabtu Kelabu.