Ikuti Kami

Wisata Halal di Danau Toba Berpotensi Coreng Kebhinekaan

Gagasan wisata halal dianggap tidak menghargai budaya masyarakat setempat, terutama  menyangkut penataan ternak dan pemotongan babi. 

Wisata Halal di Danau Toba Berpotensi Coreng Kebhinekaan
Anggota DPR-RI terpilih dari PDI Perjuangan Sihar Sitorus.

Medan, Gesuri.id - Pencanangan Wisata Halal kawasan Danau Toba oleh Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Edy Rahmayadi menuai polemik ditengah masyarakat.  

Gagasan wisata halal dianggap tidak menghargai budaya masyarakat setempat, terutama  menyangkut penataan ternak dan pemotongan babi. 

Baca: Robertus Tolak Keras Wisata Halal di Labuan Bajo

Anggota DPR-RI terpilih dari PDI Perjuangan Sihar Sitorus menegaskan wacana wisata halal telah membuat dikotomi atau pemisahan dalam masyarakat dan melanggar konsep Bhinneka Tunggal Ika.

“Wisata halal yang dicanangkan oleh Pemerintah menciptakan pemisahan/segregasi antar umat beragama bahkan suku bangsa. Bukankah Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama namun tetap satu di dalam Indonesia sebagaimana konsep Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan oleh para pendahulu negeri ini. Jika hal ini diterapkan tentu akan menciptakan diskriminasi antar satu kelompok dengan kelompok yang lain,” ujar Sihar, baru-baru ini. 

Menurut Sihar Sitorus, Danau Toba sudah memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain. Konsep halal dan haram dengan tujuan menarik wisatawan mancanegara yang diprediksi Gubernur Edy berasal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei, menurut Sihar justru mengganggu budaya dan tradisi masyarakat setempat.

“Memang pengembangan wisata Danau Toba diharapkan dapat menarik wisatawan dari luar negeri untuk datang. Namun perlu diperhatikan juga agar hal tersebut jangan mengganggu adat istiadat masyarakat lokal yang menganggap pemotongan hewan adalah halal menurut mereka. Tradisi lokal, budaya setempat memiliki nilai kearifan yang tinggi,” ujar Sihar.

Sihar juga mengingatkan bahwa mayoritas penduduk di sekitar Danau Toba adalah mereka yang bersuku Batak dan beragama Kristen. Dan bagi mereka, babi bukanlah hewan yang dilarang.

Baca: Pemerintah Jokowi Torehkan Prestasi Juara Wisata Halal Dunia

“Perlu diingat bahwa mayoritas penduduk setempat adalah Suku Batak dan beragama Kristen dimana hewan seperti babi adalah makanan yang sah untuk dikonsumsi. Mengapa pemerintah begitu sibuk mengurusi kedatangan wisatawan tanpa memikirkan apa yang telah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat setempat?” ujarnya.

Menurut Sihar sebenarnya konsep halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Konsep ini jutsru membunuh kearifan lokal Danau Toba.

“Apalagi istilah halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Kebijakan ini tentunya bukan sedang memperjuangkan affirmative actions, atau kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Kebijakan ini malah terkesan membunuh apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat dan tentu saja menghilangkan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan,”  tegas Sihar. 

Sihar Sitorus tidak ingin konsep halal dan haram menimbulkan kesombongan rohani antara satu kelompok dengan kelompok lain. 

Menurut Sihar, menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO. Dalam Kode Etik itu, kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat setempat.

Sihar menegaskan, pembangunan masjid atau rumah makan muslim dirasa sudah cukup memudahkan wisatawan Muslim yang berkunjung sebagai bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap keberagaman. Namun, penertiban hewan berkaki empat seperti babi kurang tepat diterapkan di Danau Toba.

Baca: Hasto Ajak Masyarakat Memaknai Kembali Konsep Halal Bihalal

Sihar Sitorus mengatakan penerapan konsep wisata halal bisa dilakukan di wilayah dengan mayoritas penduduk muslim, tapi bukan Danau Toba.

“Pariwisata halal mungkin bisa diterapkan di daerah wisata dengan penduduk mayoritas muslim seperti Sumatera Barat dan Aceh. Sebagaimana wisatawan yang datang ke sana harus menghormati dan menghargai apa yang sudah menjadi kultur dan kepercayaan setempat, begitupula halnya dengan yang terjadi di Danau Toba, wisatawan yang datang juga harus menghormati budaya setempat,” pungkas Sihar.

Quote