Ikuti Kami

Budiman Sudjatmiko: Bangun Desa dan Indonesia Dengan Data

Budiman: Bangun desa dan Indonesia dengan data agar kita bisa waras bareng, pinter bareng, sugih bareng.

Budiman Sudjatmiko: Bangun Desa dan Indonesia Dengan Data
Politikus PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko.

Budiman Sudjatmiko akhirnya memutuskan berhenti kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada medio 90'an. Bukan karena sadar telah salah pilih jurusan, tapi karena ia ingin fokus melawan rezim Orde Baru.

"Saya seperti seseorang yang menyeberangi sebuah sungai dan kemudian saya membakar jembatan yang menyeberangkan saya, sehingga tidak ada jalan pulang, tidak ada jalan balik kembali ke tanah seberang sebelumnya, jadi saya harus menang atau hancur di situ," kenang Budiman.

Setelahnya, Budiman semakin aktif mengorganisir massa dan aparat juga semakin aktif memburunya. Pada 22 Juli 1996, ia bersama beberapa rekannya mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tidak sampai seminggu, Budiman, bersama aktivis-aktivis PRD, dituduh sebagai dalang pecahnya Peristiwa 27 Juli. Rezim Orde Baru menyeret Budiman ke meja pengadilan dan memvonisnya 13 tahun penjara.

"Saya anggap bahwa meski 13 tahun, saya pribadi sampaikan ke teman-teman saya, juga saya sampaikan ke orang tua saya, bahwa saya tidak akan lebih dari lima tahun dipenjara, kenapa? Bukan karena saya dukun, tapi karena dari analisis kami, melihat perkembangan yang ada, tren dunia, kekuasaan diktator seperti Orde Baru ini sebenernya sudah lemah," ujar Budiman.

Sisanya adalah sejarah. Orde Baru tumbang dan prediksinya tepat. Ia hanya 3,5 tahun mendekam di penjara. Pada tahun 1999, ia mendapat amnesti dari Presiden Abdurrahman Wahid. 

Pada tahun 2003, Budiman kembali menjadi mahasiswa. Ia kuliah di jurusan Hubungan Internasional Universitas Cambridge, Inggris. Setelah memperoleh gelar Master dari Cambridge, ia bergabung ke PDI Perjuangan. Lewat PDI Perjuangan, ia berhasil menjadi Anggota DPR RI untuk dua periode (2009-2014 dan 2014-2019).

Belakangan, ia semakin rajin mengikuti serta mempelajari perkembangan sains, dan tentu saja, politik, termutakhir. Dari Revolusi 4.0 hingga menguatnya ideologi sayap kanan di belahan dunia, Budiman melihat ada sebuah hubungan yang tidak secara kebetulan terjadi di antara keduanya.

Gesuri memperoleh kesempatan untuk mewawancara Budiman di rumah jabatannya di Komplek DPR RI, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis, (29/11). Bercerita soal pencalegannya untuk periode 2019-2024 hingga pandangannya soal Revolusi 4.0, berikut adalah petikan wawancara Gesuri dengan perancang Undang-Undang Desa dan penulis buku semi-fiksi "Anak-Anak Revolusi" itu.

Bisa Anda ceritakan kilas balik proses yang membuat Anda terjun ke dunia politik sampai akhirnya bergabung ke PDI Perjuangan?

Keluarga saya di Cilacap, di Banyumas dan juga di Bogor, itu memang keluarga PNI dulunya. Ketika masa Orde Baru memang kecenderungan politiknya ke PDI, kecuali mungkin sebagian dari keluarga kakek saya. Kakek saya kebetulan memang kepala desa di masa Orde Baru, terpaksa pada waktu itu menjadi anggota Golkar, dan beberapa anaknya juga menjadi aktivis Golkar pada masa Orde Baru.

Meskipun demikian di keluarga kami, kalau kita mengobrol di dalam rumah bercerita tentang PNI, dan PDI terutama. Jadi pemikiran-pemikiran Bung Karno itu adalah pemikiran-pemikiran yang sering diceritakan oleh kakek saya, bapak saya, yang kebetulan memang punya banyak koleksi buku, buku-buku lama, buku-buku terbitan baru. 

Sehingga, saya relatif melewatkan masa kecil saya, membaca buku-buku politik, ekonomi, sejarah, dan sebagian darinya adalah bagaimana kesaksian-kesaksian Bung Karno sebagai pelaku sejarah dan juga saksi sejarah di dalam memvisikan Indonesia ke depan, dan juga visi beliau tentang dunia. Dan itu sangat membentuk pikiran-pikiran politik saya, yang akhirnya mengantarkan saya menjadi aktivitis.

Karena saya merasa pada masa Orde Baru, arah Indonesia tidak seperti apa yang dipikirkan oleh Bung Karno, yang direncakan oleh Bung Karno, dan juga oleh banyak pendiri bangsa, dalam membangun Indonesia. Sehingga ketika saya melihat persoalan-persoalan sosial di sekitar saya, kemiskinan, keterbelakangan, pembodohan, politik ketakutan, itu saya harus sikapi bahwa selain saya harus menyikapinya dengan belajar supaya tidak ikut-ikutan bodoh, dan juga belajar supaya tidak ikut-ikutan takut pada waktu itu, saya juga berpikir harus ada perubahan politik.

Saat saya berkuliah di Yogya, di UGM, di Fakultas Ekonomi, rasanya pada waktu itu sudah mulai muncul banyak gerakan, mahasiswa sudah mulai turun ke jalan. Di lain pihak juga ada perkembangan-perkembangan internasional, perkembangan-perkembangan regional, tentang gerakan-gerakan mahasiswa di berbagai negara, terutama yang paling dekat adalah gerakan pro-demokrasi yang terjadi di Filipina pada tahun '86 yang berhasil menjatuhkan Ferdinand Marcos, diktator Filipina pada waktu itu, juga gerakan-gerakan mahasiswa dan buruh di Korea Selatan yang berhasil menjatuhkan diktator Chun Doo-hwan, dan gerakan-gerakan demokrasi di Birma (Myanmar) tahun '88.

Itu tiga negara yang dekat dengan Indonesia, juga gerakan-gerakan mahasiswa di Cina, yang kemudian banyak menginspirasi kami bahwa memang Indonesia juga butuh kebebasan, butuh perubahan, butuh demokrasi. Cuma kami menyadari bahwa gerakan mahasiswa saja tidak cukup, karena berkaca dari gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya yang ketika dipukul, dihambat, kemudian mereka tidak bisa bergerak lagi, kami menyadari bahwa mahasiswa harus bergerak bersama rakyat. 

Itu kemudian meyakinkan saya bahwa, saya merasa bahwa saya sudah cukup banyak belajar, kuliah saya merasa bahwa tidak banyak hal baru yang saya dapatkan dari bangku kuliah, di Fakultas Ekonomi UGM, rasa-rasanya saya sudah mendapat perspektif yang lain tentang ekonomi.

Sehingga kemudian saya memutuskan keluar dari kampus dan mentotalkan diri dalam gerakan pemberdayaan petani pada waktu itu. Dan saya sadar bahwa sebagai pribadi saya sudah mempertaruhkan banyak hal, saya sudah mempertaruhkan nasib saya. Karena saya sudah keluar kuliah, saya merasa masa depan pribadi saya tergantung dari apakah akan ada perubahan di Indonesia.

Jadi perubahan di Indonesia saya jadikan bukan sebagai tugas sosial, bukan cuma saya anggap sebagai kewajiban sosial, tetapi juga sebagai sebuah hak pribadi saya, bahwa saya akan berhasil dan hidup ketika ada perubahan di Indonesia, dengan demikian saya akan mati-matian. Saya seperti seseorang yang menyeberangi sebuah sungai dan kemudian saya membakar jembatan yang menyeberangkan saya, sehingga tidak ada jalan pulang, tidak ada jalan balik kembali ke tanah seberang sebelumnya, jadi saya harus menang atau hancur di situ. 

Saya ingat ada satu kata Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, yang mengatakan "Apapun yang gagal menghancurkanmu akan membuatmu kuat." Nah saya akan lihat apakah situasi pada waktu itu akan menghacurkan saya dan teman-teman saya, atau justru itu akan berbalik ketika kekuasaan Orde Baru gagal menghancurkan kami. Itu justru akan menjadi momentum, bahwa kami akan menjadi kuat dengan itu.

Ketika saya dan sebagian teman-teman membuat PRD, Partai Rakyat Demokratik, dan kemudian mengajukan sebuah proposal perubahan Indonesia, pada waktu itu saya pikir saya sudah mengambil pilihan, dengan resiko tinggi, tantangan tinggi, tapi juga peluang yang tinggi, di masa-masa ketika Orde Baru begitu kuat.

Tapi meskipun begitu saya melihat bahwa kehendak-kehendak untuk melakukan perubahan-perubahan di Indonesia sudah mulai muncul. Ketika tahun '93, Ibu Megawati Soekarnoputri, dengan desakan rakyat, desakan arus bawah, berhasil menjadi Ketua Umum PDI, melawan skenario Orde Baru yang tidak menghendaki beliau menjadi Ketua Umum pada waktu itu. 

Dan kemudian munculnya gerakan-gerakan buruh di Medan, pemogokan-pemogokan, juga demonstrasi massa di mana-mana, demonstrasi petani di mana-mana, bahkan di luar yang kami organisir, di luar yang kami dampingi, itu menunjukkan bahwa perlawanan atau kehendak untuk melakukan perubahan, itu sudah menjadi aspirasi banyak orang, dengan atau tanpa campur tangan kami secara langsung.

Itu artinya, bahwa sejarah sedang bergerak, dan ketika sejarah sedang bergerak, pilihan kami pada waktu itu adalah kami ingin pada saat momentum terjadi perubahan itu, kami ada di sana. Ada di sana, dengan secara fisik tentu saja akan lebih baik, tapi setidaknya sebagai sebuah ide kami harus ada di sana, dan harus ikut mengarahkan, berdasarkan apa yang kami pelajari dan diskusikan selama belasan tahun, yang kami yakini sebagai baik untuk Indonesia, harus mewarnai arah perubahan itu, supaya perubahan itu tidak diisi oleh isi-isi yang lain, yang tidak cocok dengan keindonesiaan kita, yang tidak cocok dengan Pancasila kita.

Selebihnya adalah sejarah, Orde Baru jatuh. Dan ketika Orde Baru jatuh, tentu ada situasi baru, situasi di mana butuh ilmu-ilmu, teknologi, metode baru. Kali ini bukan untuk memperjuangkan kebebasan, tetapi mengisi kebebasan supaya dia terisi dengan pemikiran-pemikiran berkualitas, ide-ide berkualitas, dipertarungkan di dalam mekanisme, sistem, yang berkualitas.

Kemudian karena melihat perubahan baru saya memutuskan harus belajar ke luar negeri, saya harus kuliah. Saya menambah ilmu pengetahuan yang baru, belajar dari perkembangan-perkembangan dunia yang baru, untuk berpikir bahwa harus ada ide baru di era kebebasan ini. 

Setelah saya pulang kuliah dari Inggris, saya kemudian memutuskan bergabung ke PDI Perjuangan. Pada waktu itu menjelang Pilpres langsung pertama di Indonesia. Ibu Mega waktu itu sebagai incumbent, melawan pak SBY, dan kemudian saya menjadi timnya PDI Perjuangan. 

Waktu itu kami sangat mendesak, mendorong, diskusi bersama ibu Mega dengan pak Taufiq Kiemas, perlunya PDI Perjuangan mengajarkan tradisi politik yang elegan di era demorkasi, yaitu ketika kalah Pilpres, jadilah oposisi yang baik. Jadi ketika saya masuk ke PDI Perjuangan, PDI Perjuangan menjadi partai oposisi terbesar, sementara banyak partai lain menjadi bagian dari pemerintahan. PDI Perjuangan nyaris sendirian menjadi oposisi di dalam sistem. 

Tahun 2009, saya kemudian ditawarkan menjadi Anggota DPR RI untuk pertamakali. Ditugaskan di Daerah Pemilihan (Dapil) saya adalah kampung halaman saya sendiri, Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jateng VIII. Kemudian saya diminta maju lagi di Dapil yang sama (Pemilu 2014).

Sekarang di Dapil mana Anda ditempatkan?

Saya sebenernya waktu itu menemui Sekjen untuk tidak mencalonkan lagi, karena sudah dua kali periode menjadi Anggota DPR di Dapil yang sama, sehingga saya pikir "Sudah cukuplah dua kali." Kemudian tetap diminta untuk mencalonkan diri lagi, tetapi dengan Dapil yang berbeda. Sekarang saya ditugaskan untuk di Dapil Jawa Timur VII, meliputi Kabupaten Ngawi, Magetan, Trenggalek, Ponorogo dan Pacitan. Tapi alhamdulillah, karena kerja Undang-Undang Desa, saya banyak kenalan di sana juga, jadi nanti saya banyak berinteraksi, sudah banyak kenal orang-orang di sana, dan besok kami akan melakukan pelatihan-pelatihan untuk Badan Usaha Milik Desa.

Soal Undang-Undang Desa itu, bisa Anda ceritakan sekilas?

Waktu saya ditugaskan untuk menjadi Calon Anggota Legislatif untuk pertama kalinya pada tahun 2009, saya berpikir "Apa yang harus saya bawa?". Saya kemudian mengajak teman-teman lama saya, "Menyusun apa nih?". Karena saya Calon Anggota Legislatif, saya harus membawa draft Undang-Undang. Saya pada waktu itu bersama teman-teman aktivis dulu di UGM, di ITB, itu kumpul, kita bawa Undang-Undang Desa. Kita kuliti, kita bedah, kenapa harus ada Undang-Undang Desa, dari segi keuangan bagaimana, dari segi pemerintahan bagaimana, dari segi sosiologis-antropologis bagaimana, dari segi sejarah bagaimana, dari segi teknologi digital bagaimana. 

Kemudian saya jadikan draft Undang-Undang Desa itu sebagai platform, sebagai alat peraga saya pada waktu saya kampanye 2009. Saya kampanye di Dapil membawa draft Undang-Undang itu, selain tentu saja baliho, poster, atau kalender. Saya ajak diskusi orang-orang "Saya akan memperjuangkan ini sebagai Anggota Dewan."

Ketika saya terpilih di 2009, rupanya kampanye saya ini terdengar dan didengar oleh organisasi-organisasi Kepala Desa se-Indonesia. Kemudian organisasi-organisasi Kepala Desa mendatangi saya dan mengatakan siap mendukung dari luar, dalam bentuk pressure, dalam bentuk gerakan, dan bahkan meminta saya untuk jadi Pembina Utama mereka organisasi Parade Nusantara. 

Setelah saya terpilih saya berkeliling ke berbagai macam kota, kabupaten, bertemu kepala desa-kepala desa di Indonesia, kebanyakan di Jawa dan Sumatera, saya himpun dan berdiskusi dan meminta dukungan supaya ini menjadi Undang-Undang. Akhirnya setelah berdemonstrasi berkali-kali, mulai dari tahun 2010, 2011, tahun 2012 akhirnya dibentuk Pansus, Panitia Khusus, Rancangan Undang-Undang Desa. Berdebat kita selama setahun lebih, dan pada tanggal 18 Desember tahun 2013, berarti Desember besok ini, kurang dari satu bulan lagi akan ada peringatan 5 tahun ketika diketoknya pertama kali Draft Undang-Undang Desa ini menjadi Undang-Undang Desa. 

Pada awalnya sebagian teman saya meragukan apakah Undang-Undang ini akan jadi atau tidak. Karena Undang-Undang itu berbicara banyak hal, menuntut banyak hal, dan merevolusi banyak hal. Revolusi anggaran, revolusi pemerintahan, revolusi pembangunan, revolusi infrastruktur, revolusi pendidikan juga. Bagaimana menempatkan desa sebagai self-governing community, sebagai komunitas yang mengatur dirinya sendiri, untuk 74.958 desa se-Indonesia. Tapi saya yakin ide yang kata orang sukar sekalipun, kalau dia didukung rakyat akan jadi sesuatu, akhirnya tercapailah Undang-Undang Desa itu.

Pada waktu pemilu kedua, saya tidak membawa draft undang-undang baru. Karenanya saya kemudian sekadar menyosialisasikan apa yang sudah dilaksanakan Undang-Undang Desa itu, dan tinggal menyiapkan orang desa. Kalau awalnya saya mengajak pemerintah desa, rakyat desa untuk mendukung perjuangan agar draft undang-undang desa itu menjadi undang-undang.

Saat itu lebih banyak untuk bagaimana mendidik dan melakukan peningkatan kapasitas pemerintahan desa, supaya mereka bisa menjadi pelaksana Undang-Undang Desa itu dengan benar, dengan tepat sesuai dengan spirit dan ruhnya dari Undang-Undang itu. Yaitu ruhnya apa? Bukan sekadar untuk mengurangi kemiskinan tetapi untuk menciptakan kelas menengah baru di desa. Dari desa untuk Indonesia, dan untuk dunia bahkan. 

Karena di Undang-Undang itu sudah kita siapkan pasal-pasal untuk Badan Usaha Milik Desa, Sistem Informasi Desa. Badan Usaha Milik Desa adalah tempat di mana dia menjadi mesin uang dari orang desa, sehingga orang desa bisa berbisnis dengan mayoritas saham dimiliki orang desa, Sistem Informasi Desa mengenalkan orang desa kepada pemerintahan elektronik, pada bisnis elektronik, supaya orang desa tidak tertinggal dari kemajuan teknologi.

Apakah Anda sudah melakukan pemetaan Dapil? Bagaimana potensi kemenangannya?

Saya sendiri belum melakukan pemetaan dalam pengertian secara kuantitatif, karena saya juga diminta banyak stand by di Jakarta oleh Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin. Awalnya saya tidak banyak muncul di TV karena saya akan fokus di Dapil baru, bagaimanapun harus mulai dari nol. Tapi kemudian ketika muncul kasus Ratna Sarumpaet, saya diminta untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan hoaks Ratna Sarumpaet. Karena kebetulan Sekjen PDI Perjuangan, Pak Hasto, dan juga teman-teman TKN, tahu bahwa saya sudah mempelajari beberapa teknik dan strategi kampanye yang dilakukan oleh Donald Trump di Amerika. Saya memang banyak belajar ketika terjadi kasus Donald Trump terpilih dalam Pilpres 2016, kemudian Pilkada 2017 di DKI terutama. Kemudian saya diminta menjelaskan di Jakarta, banyak muncul di TV, mendapat undangan untuk hadir dalam debat-debat. 

Karenanya, belum terlalu banyak saya melakukan pemetaan secara kuantitatif. Tapi sudah bertemu dengan teman, teman-teman lama, aktivis juga di sana, LSM, dan orang-orang desa juga banyak yang kenal saya, gara-gara saya dulu pada waktu perjuangan Undang-Undang Desa saya banyak keliling Indonesia, salah satunya saya ke Magetan, Ngawi, Ponorogo. 

Saya kira soal kans, ya kita lihat nanti, karena kita belum melakukan survei kuantitatif, sehingga saya tidak bisa, dalam Bahasa Jawanya, gege mongso, atau mendahului. Tapi strategi-strategi ada untuk bagaimana memenangkan PDI Perjuangan, minimal dua kursi di Dapil Jatim VII.

Jatim VII disebut juga Dapil 'Neraka', bagaimana Anda melihat persaingan di sana?

Bagi saya, kalaupun disebut Dapil 'Neraka' dia bukan 'neraka' terpanas yang pernah saya hadapi, zaman Orde Baru 'nerakanya' lebih panas. Taruhannya bukan soal kursi, taruhannya adalah nyawa. Jadi saya pikir saya suka tantangan, saya suka sesuatu yang baru dan saya suka sesuatu yang bisa memancing saya untuk berpikir, memancing berdiskusi, mengkomunikasikan ide-ide saya di tengah masyarakat yang baru. 

Apa yang akan Anda perjuangkan di periode ketiga ini?

Apakah ada Undang-Undang baru yang saya perjuangkan? Iya ada. Yang saya katakan Undang-Undang ini adalah adiknya Undang-Undang Desa, terutama untuk melakukan pembenahan pemerintahan di level di atasnya Desa: Kabupaten, Kota, Provinsi, dan Nasional. Kita ingin ada sebuah pemerintahan berbasis dari Big Data, atau Data Raksasa, dan dengan kebijakan publik yang memang sesuai dengan semangat Revolusi Industri 4.0 yaitu perlunya penggunaan teknologi digital, teknologi biologi, untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih akurat, baik di tingkat nasional sampai tingkat daerah. 

Saya akan melahirkan Undang-Undang baru, yang berkaitan dengan itu, terutama revolusi industri keempat. Ini sebuah revolusi yang tidak pernah ada pandanannya dalam sejarah umat manusia selama ribuan tahun. Karena kita akan berselancar dengan logika matematika, dengan algoritma. Algoritma adalah sebuah formula-formula matematika, yang dimesinkan, dijadikan perangkat lunak, kemudian menjadi perangkat keras, yang mana itu nanti akan menjanjikan dan menawarkan problem solving, atau penyelesaian masalah-masalah manusia secara cepat hasil dan tepat proses.  

Algoritma itu menawarkan pemecahan-pemecahan problem sosial secara tepat hasil dan cepat proses. Itu sudah banyak dikembangkan oleh kalangan swasta, transportasi online, dokter atau kesehatan online, pendidikan online, perdagangan online. Kebanyakan memang swasta.

Tapi saya melihat bahwa teknologi ini akan sangat bagus untuk negara, bagus untuk masyarakat, jadi saya ingin perjuangan Undang-Undang yang memang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah itu harus berbasis juga, atau menggunakan juga, teknologi ini, agar tepat hasil dan cepat proses. Cepat mendapat input sehingga cepat menghasilkan output, cepat mendapat masukan dan cepat mengeluarkan rekomendasi. 

Tentu tidak semuanya tapi sebagian lah minimal beberapa persoalan yang harus diselesaikan dengan cepat dan tepat, sebangsa kita menghadapi bencana, menghadapi wabah, itu menurut saya di era sekarang tidak perlu jadi debat politik antar orang, karena itu sudah sifatnya darurat. Rekomendasi-rekomendasi kebijakan saat menghadapi situasi darurat, situasi krisis, menurut saya sebagian kita harus mulai mengandalkan mesin. 

Beberapa minggu lalu saya datang ke sebuah expo teknologi terbesar di dunia, di Singapura. Bahkan saya melihat bagaimana beberapa kecerdasan buatan bisa melakukan kerja tepat, cepat dan akurat, melampaui kecepatan, ketepatan dan akurasi enam orang dengan kualitas doktor. Saya berpikir, bagaimana konsekuensi sosialnya, dampak sosialnya, itu juga sedang saya pikirkan. Kalau memang ada beberapa pekerjaan harus diambil oleh robot, bagaimana orang nanti terdampak. Itu harus juga harus disiapkan sistem jaminan sosial untuk itu, jadi kita akan menghadapi era di mana manusia, sebagian kebutuhannya akan mulai dikerjakan oleh, bukan orang lain, atau buruhnya, tapi mesin. Termasuk bagaimana kemudian manusia biasa pun harus mendapatkan itu, harus memiliki akses atas itu.

Karena itu saya juga sering menyampaikan kepada teman-teman desa, "Buatlah badan usaha milik desa, railah keuntungan, sebagian keuntungannya kalian investasikan untuk sumber daya manusia, bisa untuk beasiswa anak-anak desa, dan kuasai ilmu komputer, sehingga ketika ada kecepatan, ada kompetisi, ada kolaborasi, Anda tidak menjadi junior partner dalam kerjasama itu, kemudian bisa masuk dalam rangkaian kerja-kerja besar untuk Indonesia dan dunia."

Ingat di era revolusi industri keempat dibutuhkan kolaborasi dunia, antar negara, sehingga kalau hari ini ada politisi bilang musuh kita adalah asing aseng asong eseng oseng segala macam, atau orang-orang yang dianggap agamanya lain, atau sukunya lain, itu sudah ketinggalan zaman. Tantangan kita adalah bagaimana manusia harus bersaing dengan kecerdasan teknologi.

Bahkan kecerdasan buatan sudah bisa memprediksi seseorang, "Suatu saat akan mengidap kanker pada usia berapa, akan terserang jantung pada usia berapa." Nah hal-hal seperti ini akan merevolusi dunia kedokteran, merevolusi dunia pendidikan, dan sudah merevolusi bisnis. 

Bisa tidak suatu saat politik, cara kita mengelola negara, cara kita mengelola demokrasi, dipaksa untuk berubah? Bisa. Sebelum dipaksa berubah, kita dorong proses legislasinya memungkinkan struktur negara yang adaptif, yang fleksibel. Karena tahun lalu saya datang ke konferensi dunia E-Governence, di Estonia, dihadiri oleh 115 negara. Di sana produk legislasi itu bukan dilihat dari jumlah pasalnya yang tebal, yang panjang.

Tapi pasal-pasalnya isinya bukan membatasi, tapi memberikan ruang bagi inovasi, sehingga ketika ada inovasi muncul dia legal, dia bisa digunakan. Misalnya ada satu Undang-Undang namanya E-Signature, Undang-Undang Tentang Tanda Tangan Elektronik. Apa yang terjadi? menghemat banyak sekali anggaran, menghemat banyak sekali kertas, menghemat waktu di dalam memproses sebuah dokumen perizinan. 

Di Uni Emirat Arab bahkan sudah ada kementerian kecerdasan buatan, ada inovasi, penghematan energinya sampai 50 persen, pengurangan kecelakaan sangat tinggi, angka penyelamatan atas kematian juga sangat tinggi.

Ini akan terjadi, sepuluh tahun ke depan akan terjadi, Indonesia sebagai negara besar harus siap.

Perkembangan teknologi, terutama di bidang komunikasi, juga memiliki ekses negatif seperti masifnya penyebaran hoaks. Bagaimana tanggapan Anda?

Ini karena orang-orang jahat lebih cepat menggunakan teknologi. Ini kan science, ini teknologi, tidak bisa dihindari. Jika orang yang baik ragu menggunakannya, orang lain dengan niat jahat pasti akan menggunakannya. Jadi kita tidak punya pilihan, akan ke sana atau tidak. Ya, harus ke sana. Supaya tidak dipakai untuk kejahatan, dipakailah untuk kebaikan. Sehingga kita harus membuat Undang-Undang yang mengharuskan itu dipakai untuk kebaikan, dan ketika dipakai untuk kejahatan, ya dipidana. Dipidana dalam pengertian ketika dia memfitnah, ketika menciptakan kerusuhan dan provokasi. 

Karena mereka sudah berdusta dengan mengggunakan data, berdusta saja pakai data. Mereka kumpulkan data, apa yang dibenci oleh orang Indonesia, apa yang membuat Indonesia merasa jijik, apa yang dianggap sakral atau suci oleh orang Indonesia, apa-apa yang membuat orang Indonesia takut, apa-apa yang membuat orang Indonesia marah. Ketika mereka sudah mendata, kemudian disematkan lah itu seolah ada melekat semua di lawan politiknya. "Lawan politikku adalah cerminan semua kejahatan, semua ketakutanmu, ada pada dia." Benar tidak? Tidak benar. Sudah dibantah, salah. "Saya minta maaf." Nanti bikin lagi, minta maaf lagi, bikin lagi, minta maaf lagi, sambil mengatakan "Lawan saya juga sering salah, tapi dia tidak pernah minta maaf. Saya minta maaf, lebih baik saya kan? Sejelek-jeleknya saya, saya minta maaf. Dia salah tapi tidak maaf." 

Nah hal-hal seperti ini adalah cara bagaimana berdusta dengan data. Kemudian didata juga apa yang membuat orang Indonesia suka, membuat orang Indonesia bahagia, membuat orang Indonesia senang, "Itu melekat pada diriku." Benar tidak? Belum tentu benar. Tapi ketika orang sudah disuguhi 'semburan dusta', orang akan kecapekan. Di situlah mereka memanfaatkan.

"Sudah kan, sama-sama buruk kan aku dan mereka? Ya sudah pilih aku saja deh yang cantik. Pilih aku saja deh yang ganteng. Pilih aku saja deh yang muda. Pilih aku saja deh yang sudah mapan. Pilih aku saja deh yang pinter nyanyi." Yang akhirnya memilih pemimpin tidak ada hubungannya dengan kemampuan mengatur orang banyak, negara. 

Karena ketika orang datang ke TPS, "Ya sudah deh karena sama-sama buruk, yang penting yang buruk ini lebih muda, yang buruk ini lebih cantik." Seperti itu. Akhirnya diturunkan standarnya dan kemudian mereka masih menyisakan sedikit saja keunggulan, yang tidak ada hubungannya dengan bagaimana cara mengelola negara. Yang agamanya sama, yang sukunya sama. Pada akhirnya itu. Di sinilah yang harus diperhatikan sama teman-teman.

Inovasi teknologi itu tak terhindarkan. Dia bukan pilihan, sehingga kita tidak punya kemewahan untuk mengatakan "ya" atau "tidak". Bahkan sekarang lama-lama kita juga tidak punya pilihan kapan memulainya. Bahkan pertanyaan kapan yang kita tanyakan, kita tidak punya pilihan, Ya sekarang, di sini. Kini dan di sini. Karena jika tidak, orang-orang punya niat jahat sudah menggunakannya. Ini sebuah sikap politik. Perdebatan-perdabatan politik kita, pendidikan-pendidikan politik kita kepada rakyat, adalah itu. Bahwa tidak cepat, ya tidak dapat. Tidak tepat, kena laknat. Tidak akurat, ya tersesat. Tapi kalau kamu cepat, tepat, kamu akan dapat manfaat dari semua perkembangan ini.

Bagaimana cara menangkal 'semburan dusta'?

Sebenarnya ada beberapa cara untuk menangkal 'semburan dusta' atau firehose of falsehood. Yang orang seperti saya bisa lakukan adalah seperti ini, membongkar rahasia pesulap, tukang hoaks, tukang dusta. Tukang sulap kan pada intinya seperti berdusta kan? Seolah kelinci muncul dari kepalanya. Tugas saya adalah membongkar rahasia “Sebenarnya tadi kelinci disimpan di mana, tidak muncul dari kepalanya, tidak muncul dari mulutnya. Tapi dia sembunyikan di mana?” Itu tugas saya. “Kelinci itu tidak keluar dari mulutnya, tidak disimpan di mulutnya. Aku tahu tukang sulap itu menyimpan kelincinya di mana.” 

Dengan begitu (membongkar triknya) membuat gedung pertunjukkan si pesulap fakta, si tukang hoaks, si tukang dusta ini, menjadi sepi. Kalau ada yang bertahan paling orang-orangnya dia sendiri aja. Tapi rakyat Indonesia, “Ah begini saja kok rupanya. Tidak benar tuh kelincinya keluar dari mulutnya, ternyata disimpan di sini.” Itu tugas orang seperti saya yang mempelajari itu. 

Tapi memang belum banyak dipelajari, karena teknologi itu baru muncul tahun 2016, diuji coba di Inggris menang, diuji coba di Amerika menang, diuji coba di Brazil menang. Tapi pernah kalah juga, saya pelajari di mana mereka kalah. Di Perancis kalah, di Malaysia kalah, di Meksiko kalah. Jadi saya sudah belajar bagaimana mereka menang dan bagaimana mereka kalah. 

Satu, membongkar rahasia pesulap. Tapi sebenernya itu hanya salah satu saja. Artinya saya harus ngomong ini di mana-mana ketika tersiar, sehingga orang tahu “Oh iya, orang ini sedang membohongi ini, dia sedang menghasut saya, supaya saya marah di sini.” Jadi ketika orang sadar itu dia tidak akan terpancing.

Kedua, seperti di Perancis, dengan cara si capresnya yang suka hoaks diadili. Begitu dia hoaks tidak usah minta maaf. Boleh saja minta maaf, tapi setelah itu diadili. Marie La pen, waktu itu, karena melakukan itu, diadili. Ketika seorang capres, tiap minggu disidang untuk hoaksnya, kan orang lama-lama tidak percaya. Tapi itu asumsinya pengadilan kita tegas, hukum kita tegak. Ini masih jadi PR besar bagi kita.

Ketiga, saya menganjurkan bahwa karena orang sudah dibikin suntuk, akal sehatnya dirusak, tidak bisa dikasih fakta yang benar, kamu harus menghibur dia. Karena itu saya anjurkan agar para komedian, menghibur masyarakat, dengan merecehkan, menjadikan lelucon saja kebohongan-kebohongan itu. 

Belakangan marak ajakan untuk 'kembali' ke zaman Orde Baru. Bagaimana tanggapan Anda?

Itu orang-orang yang tidak siap untuk masa depan, sehingga mereka mengajak ke belakang. Wajar kalau capres nomor 02, Prabowo-Sandi, mengajak ke Orde Baru. Karena mereka secara politik dan bisnis dibesarkan oleh keluarga Orde Baru. Mereka bagian dari inti keluarga Orde Baru, mereka bagian dari keluarga Cendana. Ya wajar. Tapi kita sudah demokrasi, kita tidak boleh melarang hak mereka berpolitik, kecuali kalau melanggar hukum. Tapi kan itu secara politik tidak membawa apa-apa untuk Indonesia. Akan membawa Indonesia mundur ke belakang. 

Jadi bagi saya, mereka merepresentasikan kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh Orde Baru, ya keluarga yang tinggal di sekitaran Menteng dan Kebayoran Baru saja ini. Yang selama puluhan tahun hidup dari bisnis, perlindungan politik, dan kongsi politik dengan Cendana. Tidak semua orang Menteng, tidak semua orang Kebayoran Baru, tapi mereka yang khas orang-orang yang diuntungkan selama puluhan tahun Orde Baru. Pak Jokowi dan pak Ma’ruf Amin adalah simbol 74.958 desa di Indonesia. Pak Jokowi dan pak Ma’ruf Amin adalah simbol adalah orang-orang kampung dan kota seluruh Indonesia. Tugas kita adalah menjaga jangan sampai demokrasi kita kembali ke era lama.

Bagaimana Anda mengkampanyekan Jokowi-Ma’ruf?

Pak Jokowi adalah wajah tetangga kita, wajah orang kampung, wajah tukang cukur kita, wajah mantri kesehatan klinik di desa kita. Pak Ma’ruf Amin adalah wajah kyai saya waktu saya kecil. Mereka adalah wajah yang biasa kita temui sehari-hari, mereka tahu apa yang menjadi kesusahan.

Mereka tidak perlu diajari lagi bagaimana menjadi rakyat, karena mereka dalam waktu yang sangat lama sudah menjadi rakyat. Bukan kelompok-kelompok yang diuntungkan secara politik, secara kultural, secara bisnis, oleh oligarki kekuasaan otoriter dan korup dari Orde Baru. Bukan... bukan... Mereka survive, berdiri, dan pada akhirnya mereka adalah orang-orang biasa yang hari ini mendapat kesempatan luar biasa untuk menjadi pemimpin kita.

Ketika ada orang-orang biasa punya kesempatan luar biasa, jangan sia-siakan. Karena ketika orang-orang biasa diberi kesempatan oleh Sejarah untuk melakukan hal-hal yang luar biasa, maka orang-orang biasa yang sedang menjalankan tugas-tugas luar biasa itu akan menempatkan orang biasa seperti saya, seperti Anda, ada di tempat luar biasa bersama mereka. Jadi ini adalah keputusan rakyat, kemenangan pak Jokowi-Ma’ruf Amin adalah kemenangan rakyat biasa.

Apa tagline kampanye Anda?

“Bangun desa dan Indonesia dengan data agar kita bisa waras bareng, pinter bareng, sugih bareng.”

Quote