Surabaya, Gesuri.id – Langit pagi di Tugu Pahlawan, Kamis (4/9/2025), tampak cerah. Namun suasana hati Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, justru diliputi haru. Dalam acara Ikrar dan Doa Bersama yang dihadiri ribuan warga, ia beberapa kali terlihat mengusap air mata.
Tangis itu pecah saat alunan lagu Ibu Pertiwi dan Padamu Negeri menggema. Suara ratusan orang bersatu, namun bagi Eri, gema itu seakan bercampur dengan bayangan kerusakan kota yang baru saja terjadi. Surabaya—kota yang ia cintai—terluka akibat perusakan dan pembakaran bangunan oleh orang tak dikenal pasca demonstrasi akhir Agustus lalu.
“Apapun itu, agama mengajarkan bagaimana khairunnas anfahum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya,” ujar Eri dengan suara bergetar. “Bagaimana bumi Ibu Pertiwi ini dibangun dengan perjuangan, dengan darah para pejuang, dengan darah para ulama, dengan darah seluruh warga Kota Surabaya.”
Ingatan itu kembali menusuk ketika ia membayangkan bukan hanya aset pemkot yang rusak, tapi juga warung-warung kecil milik warga. Kehidupan mereka, yang bergantung pada usaha sederhana, ikut hancur terbakar.
“Bagaimana perekonomian mereka? Kita ini hadir di muka bumi untuk saling menguatkan, bukan saling menyakiti,” tambahnya.
Sebanyak 9.299 warga Surabaya berkumpul di Tugu Pahlawan pagi itu. Mereka datang dari berbagai latar belakang—karang taruna, mahasiswa, pemuda lintas agama, komunitas, hingga tokoh ormas—mengucapkan ikrar “Jogo Suroboyo, Jogo Indonesia”. Dari Wonokromo, Bubutan, hingga pelosok kota, semua berkumpul meneguhkan tekad: Surabaya harus dijaga bersama.
“Ini yang membuat saya menitikkan air mata,” kata Eri lagi. “Ya Allah, kenapa dengan kota ini sampai terjadi seperti ini? Apakah Tuhan sedang menguji kita, atau mengingatkan kita?”
Acara tersebut bukan sekadar seremonial. Ribuan orang yang hadir percaya, ikrar itu adalah janji moral untuk menjaga Surabaya tetap aman, damai, dan rukun. “Kota Surabaya ini milik semua orang, bukan milik wali kota atau sekelompok orang. Karena itu, semua elemen wajib ikut menjaga kota tercinta,” tegas Eri.
Di balik isak dan doa, ada secercah harapan. Harapan bahwa luka Surabaya bisa dipulihkan dengan gotong royong. Bahwa air mata seorang wali kota adalah cermin air mata warganya—dan dari kesedihan itu, lahirlah tekad untuk bangkit.