Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib para pengemudi transportasi online (ojol) yang disebutnya mengalami tekanan finansial berlapis akibat kebijakan aplikator.
Ia menilai sistem potongan dan langganan yang diterapkan saat ini merugikan pengemudi dan tidak manusiawi.
“Untuk dapat order, mereka bayar lagi Rp20 ribu per hari. Sudah mereka bayar (langganan), lalu konsumen memesan dipotong lagi persentasenya minimal 20 persen sampai 50 persen. Pernah enggak kita lakukan audit investigatif untuk keuangan ini?” kata Adian, Minggu (25/5/2025).
Politisi dari Fraksi PDI Perjuangan itu menyebut, praktik berlangganan order yang kini menjadi syarat mendapatkan pesanan dari pelanggan merupakan bentuk ketidakadilan. Menurutnya, pengemudi harus membayar agar mendapat prioritas, namun tetap mengalami potongan dari pendapatannya.
“Mereka membayar untuk mendapatkan order prioritas. Biaya ini di luar potongan ketika mereka mendapat order. Kejam sekali! Yang selama ini terpublikasi ‘potongan-potongan’. Namun ada biaya layanan dan biaya jasa aplikator dan ada beli order. Ketika temen-temen ini enggak membayar biaya berlangganan sebagai pengemudi, enggak bayar 20 ribu - mereka enggak dapat order, mereka enggak dapat pesanan,” tegas Adian.
Ia pun mendorong agar Indonesia mempertimbangkan sistem langganan tetap seperti yang diterapkan di India, demi menciptakan hubungan yang lebih logis antara pengemudi dan aplikator.
“Di India sekarang tidak lagi ada potongan komisi. Yang ada driver berlangganan aplikasi. Potongan biaya langganan ini berlaku tetap. Nah, itu nanti masa depan driver online, hubungannya dengan aplikasi sangat logis,” ucapnya.
Sebagai Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Adian juga mengkritik lemahnya peran negara dalam mengatur skema pungutan yang dikenakan aplikator. Ia menyayangkan bahwa banyak biaya tambahan yang dikenakan tanpa dasar hukum yang jelas.
“Kita bisa diperdebatkan (potongan komisi) 15 persen dan 5 persen ada KP-nya. Seburuk-buruknya KP, dia dasar hukum. Negara biarkan ini (potongan biaya layanan dan biaya jasa aplikasi) terjadi bertahun-tahun. Ini aneh menurut saya. Kita sepertinya hidup bernegara tanpa negara,” ujarnya.
Adian juga menolak alasan aplikator yang menyebut praktik serupa terjadi di luar negeri sebagai pembenaran.
“Saya minta ini (biaya layanan dan aplikasi) dicabut, tidak boleh ada. Dalam konferensi pers aplikator kemarin (20/5/2025) disampaikan dasar mereka menggunakan ini hanya karena di negara lain dipakai. Tapi peristiwa di negara lain itu bukan dasar hukum di Indonesia. Jadi bukan cuma (potongan komisi) 10 persen (yang dicabut) tapi (langganan order) ini juga,” ungkapnya.
Ia meminta agar DPR RI membahas persoalan ini secara komprehensif, tidak semata fokus pada potongan komisi, tetapi juga pada praktik pemungutan tanpa dasar hukum.
“Maksud saya ini juga harus menjadi pembahasan agar pemahaman kami terhadap masalah-masalah driver online ini utuh. Jangan kemudian kita cuma melihat persoalan persentase (komisi). Tidak juga, tapi bagaimana mereka memungut sesuatu dari rakyat dalam jumlah banyak tanpa dasar hukum dan bagaimana kemudian mereka diminta membeli ordernya ke aplikator,” pungkasnya.
Sumber: www.inilah.com