Ikuti Kami

Ahok Diminta Jokowi Berantas Mafia Migas, Siapa Mereka? 

Impor minyak mentah yang terus membengkak membuat neraca perdagangan RI terus defisit.

Ahok Diminta Jokowi Berantas Mafia Migas, Siapa Mereka? 
Ilustrasi. Ahok dan Presiden Jokowi. (Infografis Gesuri.id)

Jakarta, Gesuri.id - Presiden Jokowi telah memerintahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina untuk memberantas mafia di sektor minyak dan gas (Migas) di Indonesia.

Hal itu karena impor minyak mentah yang terus membengkak telah membuat neraca perdagangan RI terus defisit. Dan, Jokowi meyakini soal impor minyak ini tak lepas dari masih adanya mafia migas. 

Menurutnya, itu menjadi salah satu alasannya menempatkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di perusahaan tersebut.

Baca: Catat! Presiden Jokowi Bertekad Berantas Mafia Migas

Ini disampaikan Jokowi kepada wartawan usai menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah dan Silahturahmi Nasional Bank Wakaf Mikro di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12).

"Iya larinya ke situ," ujarnya menjelaskan inti pertemuan dengan Ahok dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (9/11).

Sebelumnya, Jokowi juga menyinggung oknum-oknum 'pengganggu'ini. Akhir November lalu, Jokowi menegaskan tak segan akan menggigit mereka yang menghalangi Indonesia kurangi impor minyak.

"Saya tahu yang impor siapa sekarang. Kalau ada yang mau ganggu pasti akan saya gigit orang itu. Enggak akan selesai kalau masalah ini tidak kita selesaikan," tegas Jokowi.

Jokowi berjanji akan memberantas para penyuka impor migas. Jokowi menyinggung soal masih ramainya impor minyak dan LPG. "Ada yang senang impor tapi tidak mau diganggu impornya. Baik itu minyak maupun LPG. Ini yang akan saya ganggu," kata Jokowi.

Mafia yang dimaksud Jokowi


 

Kata Mafia migas mulai sering didengar begitu Jokowi dilantik menjadi Presiden pada 2014. Lewat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada saat itu, pemerintah membentuk Tim Tata Kelola dan Reformasi Migas yang digawangi oleh ekonom Faisal Basri.

Sejumlah pakar dan profesional bekerja di tim tersebut, lalu pelan-pelan menguak soal praktik mafia migas di tubuh BUMN terbesar RI yakni PT Pertamina (Persero). Sumber kekacauan, saat itu menurut Faisal, ada di anak usaha Pertamina yang bergerak di jual beli impor minyak yakni Petral.

Mengutip laporan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dirilis 2015 lalu, berikut adalah riwayat lahirnya Petral:

Pada 1969, Pertamina dan satu "interest group" Amerika Serikat mendirikan Perta Group dengan tujuan memasarkan minyak mentah dan produk minyak Pertamina di pasar Amerika Serikat. Perta Group-yang memulai kegiatan perdagangan minyak.

Pada September 1998, Pertamina mengambil alih seluruh saham Perta Group. Pada Maret 2001, atas persetujuan pemegang saham, perusahaan berubah nama menjadi Pertamina Energy Trading Limited (PETRAL) yang berperan sebagai trading and marketing arm Pertamina di pasar internasional.

Petral mendirikan anak perusahaan berbadan hukum dan berkedudukan di Singapura bernama Pertamina Energy Services Pte Limited (PES) pada 1992 yang dibebani tugas melakukan perdagangan minyak mentah, produk minyak, dan petrokimia.

Pembentukan dan operasional Perta Group pada awalnya lebih diarahkan untuk pemasaran minyak bumi mengingat di masa itu Indonesia merupakan pengekspor neto (net exporter) minyak bumi dan masih menjadi anggota OPEC.

Peran Petral kemudian semakin menjadi-jadi begitu Indonesia menjadi net importir.

Perta Group yang kemudian diubah namanya menjadi Petral dengan PES sebagai anak perusahaannya tetap hanya sebagai trading arms dengan tambahan fungsi sebagai "agen pengadaan" minyak bumi dan BBM. 
Mengingat kebutuhan BBM Indonesia yang relatif sangat besar dan PES merupakan satu-satunya pihak yang ditunjuk sebagai penjual dan pembeli minyak mentah dan BBM, volume usaha PES semakin membesar.

KPK & Faisal Basri Cs Bongkar Mafia Migas

Tim anti mafia migas ini, julukannya, bekerja 6 bulan penuh menyelidiki praktik-praktik impor BBM di tubuh anak usaha Pertamina tersebut.

Tim menemukan beberapa hal dari kajian mereka, misal penawaran yang dilakukan ke Petral dan PEs tidak lazim, proses berbelit-belit, dan harus menghadapi pihak ketiga yang bertindak sebagai agent atau arranger. Namun, pelaku yang bersangkutan mengakui dengan terbuka telah mengapalkan minyak secara teratur ke Indonesia melalui trader.

Tim juga menemukan indikasi kebocoran informasi mengenai spesifikasi produk dan owner estimate sebelum tender berlangsung.

Tim menemukan cukup banyak indikasi adanya kekuatan "tersembunyi" yang terlibat dalam proses tender oleh Petral.

Berdasar temuan tersebut, Tim pun menyusun rekomendasi terkait Petral sebagai berikut:

Tender penjualan dan pengadaan impor minyak mentah dan BBM tidak lagi oleh PES melainkan dilakukan oleh ISC (integrated supply chain) Pertamina.

Mengganti secepatnya manajemen Petral dan ISC dari tingkat pimpinan tertinggi hingga manajer

Melakukan audit forensik agar segala proses yang terjadi di Petral menjadi terang benderang. Audit forensik agar dilakukan oleh institusi audit yang kompeten di Indonesia dan memiliki jangkauan kerja ke Singapura serta negara terkait lainnya. Hasil audit forensik bisa dijadikan sebagai pintu masuk membongkar potensi pidana, khususnya membongkar praktek mafia migas.

Temuan tim ini pun ditindaklanjuti oleh Menteri Sudirman Said dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) saat itu Dwi Soetjipto.

Tindak lanjut pertama, sesuai instruksi Presiden Jokowi, Sudirman dan Dwi langsung membekukan bisnis Petral pada tengah Mei 2015. "Kata Presiden, masa lalu harus diputus," ujar Sudirman Saat itu.

Tindak lanjut kedua adalah dengan melakukan audit forensik. Lembaga audit Kordha Mentha kemudian ditunjuk untuk mengaudit forensik praktik jual beli minyak di Petral untuk periode 2012 sampai 2014.

Berdasarkan temuan lembaga auditor itu, jaringan mafia minyak dan gas (migas) telah menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun. Untuk audit anak usahanya itu, Pertamina merogoh kocek hingga US$ 1 juta.

KPK Bongkar Mafia Migas di Petral!

Lima tahun kemudian, setelah melakukan penyelidikan dan penyidikan yang sangat kompleks. Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya membongkar sosok mafia migas di tubuh Petral.

KPK menetapkan Bambang Irianto sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi suap dalam tubuh Petral.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan, Bambang Irianto sendiri menjabat sebagai VP Marketing PES (anak usaha Petral) pada 6 Mei 2009 dan bertugas membangun dan mempertahankan jaringan bisnis dengan komunitas perdagangan, mencari peluang dagang yang akan menambahkan untuk perusahaan, mengamankan suplai, dan melakukan perdagangan minyak mentah dan produk kilang.

KPK meringkus Bambang karena dugaan menerima suap sewaktu menjabat sebagai Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd periode 2009-2013.

Pada saat Bambang menjabat sebagai Vice President (VP) Marketing, PES melaksanakan pengadaan serta penjualan minyak mentah dan produk kilang untuk kebutuhan PT. Pertamina (Persero) yang dapat diikuti oleh National Oil Company, Major Oil Company, Refinery, maupun trader.

"Tersangka BTO selaku VP Marketing PES membantu mengamankan jatah alokasi kargo KERNEL OIL dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang. Dan sebagai imbalannya diduga Bambang Irianto menerima sejumlah uang yang diterima melalui rekening bank di luar negeri," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Selasa (10/9).

Lepas dari PES, Bambang Irianto terus dipercaya oleh perusahaan bahkan menjadi Direktur Utama PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) pada 2014.

Masih Adakah Mafia Migas di Pertamina?

Mantan komisaris utama Pertamina sekaligus eks Menteri Pendayagunaan BUMN, Tanri Abeng, pernah mengatakan bahwa sejak ditutupnya Petral pada 2015 lalu sudah tak ada lagi mafia migas di Pertamina.

"Tender minyak sekarang terbuka, Pertamina buka lewat ISC itu bisa dikontrol," jelas Tanri Abeng kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Meskipun begitu, ia tak menampik masih banyak oknum-oknum yang mau terus menggenjot impor minyak Indonesia. Meski kini pintunya sudah tertutup di Pertamina, "Tapi mereka cari pintu lain, itu yang harus waspada," katanya.

Soal mafia migas ini memang isu sensitif, sebelum dibongkar oleh tim tata kelola dan reformasi migas pada 2015 lalu, Pertamina sendiri membantah soal adanya praktik mafia dalam impor minyak RI.

Bayangkan, dengan konsumsi mencapai 1,3 juta barel sehari sementara produksi hanya di kisaran 750 ribu barel hingga 800 ribu barel sehari, ada selisih sampai 500 ribu barel sehari yang bisa jadi ceruk para mafia untuk mendapat cuan dari impor minyak.

Jokowi juga gemas bukan main soal hal ini. KPK bahkan menetapkan mantan bos Petral sebagai tersangka korupsi, setelah 5 tahun lebih melakukan penyelidikan.

Tapi, Oktober lalu sektor migas sempat dihebohkan dengan kelahiran PIMD atau Pertamina International Marketing & Distribution, Pte Ltd (PIMD). Berfungsi sebagai trading arm baru, berbagai pihak khawatir PIMD merupakan reinkarnasi dari Petral.

Baca: Bertemu Ahok, Presiden Ingin Impor Migas Dikendalikan

Salah satu yang khawatir adalah Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto yang dulu juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina.

Ia menekankan untuk peningkatan efisiensi perusahaan lebih baik tidak ada campur tangan perantara dalam transasksi. "Jangan ada perantara, fungsinya harusnya prosesnya bisa langsung," kata dia saat dijumpai di SKK Migas, Kamis (10/10).

Pertamina sendiri menegaskan bahwa pendirian trading arm Pertamina International Marketing & Distribution, Pte Ltd (PIMD) bukan untuk mengganti Petral.

"Petral merupakan trading arm Pertamina dalam import minyak mentah untuk kebutuhan domestik, sedangkan PIMD merupakan trading arm untuk menjual produk Pertamina maupun produk pihak ketiga di pasar international. Jadi jelas PIMD jangan disamakan dengan Petral, karena PIMD fokus untuk menghasilkan pendapatan tambahan melalui penjualan di luar negeri. Jadi bukan untuk memenuhi kebutuhan domestik," kata Fajriyah Usman, VP Corporate Communication Pertamina dalam siaran pers di Jakarta (9/10).

Quote