Jakarta Gesuri.id - Anggota DPR RI, Andreas Hugo Parera menyoroti keterlibatan aparat penegak hukum (APH) dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Politikus PDI Perjuangan ini berpandangan, keterlibatan APH membuat kasus tersebut sulit ditangani secara optimal.
Sebab, ada kecenderungan memperlambat penanganan, hingga berujung pada pengabaian kasus.
Baca: Ganjar Dukung Gubernur Luthfi Hidupkan Jogo Tonggo
“Sering kali dalam banyak peristiwa justru aparat penegak hukum yang terlibat di situ,” kata anggota komisi XIII tersebut kepada wartawan usai seminar di Kampus Universitas Nusa Nipa, Senin (6/10).
“Itu menyulitkan penegakan hukum sekaligus adanya pengabaian terhadap kasus, seolah-olah tidak tahu,” kata dia.
Ia mendorong adanya kontrol publik terhadap kasus-kasus yang terjadi, salah satunya dengan memviralkan kasusnya. “No viral, no justice,” katanya.
Menurutnya, APH akan bergerak lebih cepat apabila adanya desakan dari masyarakat, baik melalui media mainstream maupun media sosial.
Andreas juga menyebut, kasus TPPO lebih sering dan banyak terjadi di NTT dan NTB.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Gugus Tugas Pencegahan serta Penanganan TPPO mencatat, lebih dari 1.600 jenazah pekerja migran asal NTT dipulangkan dalam rentang waktu 2012–2024.
Kuat dugaan, jumlah korban jauh melebihi angka kematian tersebut.
“Bagaimana mencegah itu? Mengapa itu bisa terjadi? Saya kira itu menjadi tantangan kita bersama," katanya.
Ia menyampaikan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) akan membuka kantor perwakilan di NTT.
Terkait modus, menurutnya, korban ditipu dengan janji-janji yang muluk terkait kerja dan pendapatan baik di dalam maupun di luar negeri.
“(Mereka menjadi korban) karena janji. Janji akan mendapatkan kerja layak dengan gaji yang besar, tapi ternyata mereka ditipu. Saya banyak berjumpa dengan mereka,” ujar dia.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Ia mengimbau agar masyarakat tidak mudah tertipu dengan janji-janji kerja dan gaji tinggi di luar daerah.
Masyarakat mesti mampu memanfaatkan potensi daerah serta menghindari perilaku konsumtif dan perjudian mesti dihentikan.
“Karena mereka juga, selain karena kondisi ekonomi, tapi juga karena judi dan mau kerja yang muluk-muluk saja," ucap Andreas.