Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk meninjau kembali kebijakan pemotongan Transfer ke Daerah (TKD).
Legislator Fraksi PDI Perjuangan itu menilai, evaluasi perlu dilakukan agar prinsip efisiensi tetap berjalan tanpa mengorbankan pelayanan publik di daerah.
“Saya men-support langkah Menkeu untuk meninjau, melihat kembali tetap pada prinsip efisiensi, mana-mana yang bisa diefisienkan,” kata Aria Bima, Rabu (8/10/2025).
Politikus senior PDI Perjuangan ini memahami bahwa kebijakan pemotongan dana TKD sejatinya dimaksudkan untuk mengefisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan kepala daerah karena berpotensi menghambat berbagai program pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan masyarakat.
“Tampaknya ini bukan efisiensi yang ada di para kepala daerah, tetapi dapat lebih pada pemangkasan,” ungkapnya.
Aria Bima menegaskan bahwa pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan pemotongan tersebut agar tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan di tingkat daerah. Ia menilai, efisiensi tetap harus menjadi pijakan, namun tidak boleh diartikan sebagai pemangkasan yang membabi buta.
“Prinsipnya efisiensi dengan transformasi dan akuntabilitas harus didukung dari Pak Prabowo, tetapi jangan ada pemangkasan,” lanjut Aria Bima.
Meski begitu, Aria Bima juga menyoroti pentingnya tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjaga efektivitas pengelolaan anggaran. Ia mengingatkan para gubernur dan bupati untuk lebih kreatif serta bijak dalam menata ulang keuangan daerah di tengah keterbatasan dana dari pusat.
“Intinya kepala daerah juga harus berusaha bagaimana efektivitas dan efisiensi anggaran ini dalam situasi kondisi keuangan yang tidak dalam kondisi baik-baik saja, saya kira itu,” ungkapnya.
Belakangan, kebijakan pemotongan TKD ini menuai protes dari berbagai daerah. Sebanyak 18 gubernur diketahui telah menyampaikan keberatan secara resmi kepada Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Salah satu yang paling terdampak adalah Provinsi Aceh, yang mengalami pemotongan anggaran hingga 25 persen. Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) bahkan meminta agar pemerintah pusat ikut menanggung pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) setelah pemangkasan dilakukan.
Menanggapi hal tersebut, Aria Bima mengingatkan bahwa belanja aparatur seharusnya tidak terdampak oleh kebijakan pemotongan TKD. Ia menilai penggajian ASN dan belanja rutin pemerintahan mestinya tetap dijamin, sebab menyangkut keberlangsungan pelayanan administrasi negara.
“Kalau belanja aparatur, kan, itu tetap,” ujar Aria Bima.
Namun, ia juga menyarankan agar pemda melakukan evaluasi terhadap kebijakan rekrutmen pegawai baru, baik ASN maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Menurutnya, penambahan aparatur baru yang dibebankan kepada daerah perlu dikaji ulang agar tidak memperberat beban fiskal di tengah kondisi keuangan yang menantang.
“Mungkin perlu dilihat kembali apakah tambahan ASN dan PPPK, kemarin, kan, dibebankan kepada daerah,” ujar Aria Bima.
Aria Bima menegaskan bahwa koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci utama dalam menghadapi kebijakan efisiensi semacam ini. Ia berharap, peninjauan kebijakan oleh Menkeu dapat menghasilkan formulasi baru yang lebih adil, proporsional, dan berpihak pada kepentingan masyarakat di daerah.
Menurutnya, langkah efisiensi harus ditempatkan dalam kerangka transformasi fiskal nasional yang transparan dan akuntabel, bukan sekadar pemangkasan yang berdampak negatif pada pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat.