Ikuti Kami

Bambang Pacul Siap Fasilitasi Diskusi Tentang Perubahan UUD 1945

Pimpinan MPR nantinya akan menggelar diskusi yang membicarakan menuju perubahan atau amandemen UUD 1945. 

Bambang Pacul Siap Fasilitasi Diskusi Tentang Perubahan UUD 1945
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Wuryanto.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Wuryanto mengatakan akan memfasilitasi diskusi tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 

Menurutnya, Pimpinan MPR nantinya akan menggelar diskusi yang membicarakan menuju perubahan atau amandemen UUD 1945. 

Baca: Pramono Anung Tekankan Pentingnya Keberadaan YKI

Politikus PDI Perjuangan itu berpandangan hal ini sejalan dengan kewenangan lembaganya sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 UUD NRI 1945. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. 

"Sebagai Pimpinan MPR, saya pastikan untuk menuju perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR akan memfasilitasi dengan menggelar diskusi rutin untuk amandemen UUD NRI Tahun 1945," ujar Bambang dalam siaran pers, dikutip Jumat (22/08/2025). 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MK, Saldi Isra menyebutkan, selama ini memang masih terdapat catatan-catatan kelemahan mengenai perubahan UUD 1945. Hal itu juga diakui oleh MPR melalui pembentukan Komisi Konstitusi untuk mengkaji kembali UUD hasil amandemen.

Namun, Saldi menggarisbawahi perubahan konstitusi tidak akan bisa selalu menjawab perkembangan ketatanegaraan. Bila konstitusi terus diubah, maka hierarkinya tidak akan berbeda dengan undang-undang. 

Baca: Once Mekel Harap RUU Hak Cipta Segera Rampung

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie mengeklaim perubahan UUD 1945 empat taham pada 1999-2022 tidak sempurna karena seharusnya menampung nilai-nilai dan norma baru di Indonesia. Menurut Jimly, menjelang 25 tahun reformasi, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap konstitusi, misalnya penataan lembaga Dewan Perwakilan Daerah dan kewenangan Komisi Yudisial (KY). Di sisi lain, Jimly mengakui tidak mungkin konstitusi selalu diubah. Maka, Indonesia membutuhkan konvensi ketatanegaraan untuk mengakomodir perubahan itu. 

Konvensi ketatanegaraan adalah segenap kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang bersifat mendasar, yang dilakukan dalam menyelenggarakan aktivitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara, dan belum diatur dalam konstitusi serta peraturan ketatanegaraan lainnya, dengan maksud untuk melengkapi ketentuan-ketentuan ketatanegaraan.

Quote