Ikuti Kami

Benhur Watubun: Kasus Nerong dan Mat Olat Kei Besar Potret Telanjang Eksploitasi Tanpa Keadilan

Kasus yang terjadi di Nerong dan Mat Olat, Kei Besar, Kab Maluku Tenggara, sebagai potret telanjang ketimpangan dan perampasan ruang hidup.

Benhur Watubun: Kasus Nerong dan Mat Olat Kei Besar Potret Telanjang Eksploitasi Tanpa Keadilan
Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku, Benhur G. Watubun saat membuka Dialog Publik bertajuk 'Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Maluku, Antara Peluang & Ancaman' yang diselenggarakan oleh DPD PDI Perjuangan Maluku di Pacific Hotel, Kamis (17/7/2025).

Jakarta, Gesuri.id - Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku, Benhur G. Watubun, menyoroti kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku sebagai bentuk eksploitasi brutal tanpa keadilan sosial. 

Ia menyebut kasus yang terjadi di Nerong dan Mat Olat, Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, sebagai potret telanjang ketimpangan dan perampasan ruang hidup masyarakat.

“Di Nerong dan Mat Olat Kei Besar adalah potret telanjang daripada eksploitasi yang meniadakan keadilan sosial bagi rakyat di Provinsi Maluku,” tegas Benhur.

Pernyataan tersebut disampaikan saat membuka Dialog Publik bertajuk “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Maluku, Antara Peluang & Ancaman” yang diselenggarakan oleh DPD PDI Perjuangan Maluku di Pacific Hotel, Kamis (17/7/2025).

Benhur menekankan bahwa Maluku merupakan wilayah kepulauan, di mana masyarakat lokal menggantungkan hidup dari ekosistem pesisir dan laut. Karena itu, kata dia, kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang atau eksploitasi sumber daya sangat berdampak langsung pada kelangsungan hidup masyarakat.

“Maluku ini rata-rata terdiri dari pulau-pulau kecil. Di mana masyarakat menggantungkan hidup di sekitaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ungkapnya.

“Kalau lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu dirusak, maka habis sudah rakyat di Maluku. Kita sudah tidak bisa lagi menggantungkan hidup dan kehidupan pada lingkungan kita,” lanjut Benhur.

Ia secara khusus menyoroti aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA) yang saat ini tengah beroperasi di wilayah Kei Besar. 

Menurutnya, meskipun ada pihak-pihak yang mendukung tambang tersebut karena mendapatkan keuntungan sesaat, namun persoalan utamanya adalah pelanggaran terhadap aturan dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.

“Hari ini semua orang boleh pro terhadap penambangan batu kapur yang dilakukan oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA), karena dibayar sesaat. Namun masih ada yang mengontrol karena masalah pengrusakan lingkungan di pulau-pulau kecil bertentangan dengan undang-undang,” ujarnya.

Benhur mempertanyakan sikap inkonsisten pemerintah pusat yang mengeluarkan regulasi, namun di sisi lain justru membiarkan peraturan itu sendiri dilanggar.

“Ini soal undang-undang, itu berkaitan dengan peraturan. Yang mengeluarkan peraturan adalah Pemerintah Pusat. Masa iya, pemerintah keluarkan peraturan kemudian pemerintah sendiri yang melanggarnya,” tegasnya.

Menurut Benhur, kegelisahan utama adalah munculnya gugatan terhadap undang-undang yang justru dibuat oleh pemerintah dan DPR RI sendiri. Karena itu, setelah aturan ditetapkan, maka seluruh pihak harus tunduk dan melaksanakannya.

“Yang dikhawatirkan adalah gugatan terhadap aturan. Yang melahirkan aturan itu adalah undang-undang yang dibuat oleh pemerintah pusat dan DPR RI. Maka setelah diundangkan, wajib hukumnya untuk melaksanakan,” ucapnya.

Ia menegaskan, tujuan digelarnya dialog publik tersebut adalah untuk membangun kesadaran kolektif, serta menghadirkan paradigma baru agar masyarakat dan pemerintah bisa bersama-sama mencegah eksploitasi yang merusak ruang hidup masyarakat Maluku.

“Untuk itulah, PDI Perjuangan menggelar diskusi, untuk bisa menghantarkan paradigma, mencegah apa yang dilakukan oleh korporasi, tindakan mengeksploitasi secara brutal dan menghabisi apa yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maluku,” pungkasnya.

Quote