Ikuti Kami

Darmadi Ungkap Undisbursed Loan Bisa Berdampak Terhadap Perputaran Ekonomi

Darmadi menyarankan agar regulator (OJK, BI) melakukan monitor risiko sistemik dari idle credit, terutama bila rasio melewati 15% dari total

Darmadi Ungkap Undisbursed Loan Bisa Berdampak Terhadap Perputaran Ekonomi
Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto khawatir dengan fenomena undisbursed loan (kredit disetujui tapi belum dicairkan) yang tengah terjadi di dunia perbankan tanah air. 

Menurutnya, fenomena tersebut bisa berimplikasi negatif terhadap roda perekonomian bangsa dan negara secara keseluruhan.

Berdasarkan data terbaru dan analisis implikasi dari undisbursed loan pada Himbara dan BCA per 2025 pertumbuhannya kurang menggembirakan.

Berdasarkan data ungkap Darmadi, bank atau kelompok inilai yang masuk dalam kategori Undisbursed Loan (±) pertumbuhan YoY kurang begitu menggembirakan.

Baca: Ganjar Nilai Ada Upaya Presiden Prabowo Rangkul PDI Perjuangan

Darmadi menjelaskan BCA Rp414,7 triliun (April 2025) +5,6% YoY tertinggi di industri. Mayoritas korporasi tunda pencairan HIMBARA (Mandiri, BRI, BNI, BTN) ± Rp900–1.000 triliun (estimasi kolektif) +6,6% YoY (November 2024). Rasio undisbursed meningkat signifikan sejak 2023. Industri perbankan nasional Rp2.348,9 triliun (Januari 2025) +11,75% YoY disumbang terutama oleh segmen kredit korporasi. 

Darmadi menduga penyebab utama terjadinya undisbursed loan karena beberapa faktor.

"Pertama, kehati-hatian debitur, pelaku usaha atau individu menunda pencairan karena situasi ekonomi global/domestik yang belum pasti (harga komoditas, suku bunga, geopolitik). Kedua, pengaturan arus kas: Beberapa proyek masih dalam fase awal sehingga belum butuh dana. Ketiga, regulasi sektor spesifik. Sektor properti, energi, atau infrastruktur bisa mengalami keterlambatan izin, sehingga pencairan ikut tertunda" katanya.

Menurutnya, kondisi demikian bisa berimplikasi negatif terhadap kinerja bank-bank tersebut.

"Pertama, pendapatan bunga tertunda karena belum dicairkan, kredit belum menghasilkan bunga efektif. Kedua, likuiditas bank tertekan dana sudah dialokasikan, tapi idle—membatasi ruang ekspansi ke kredit baru. Ketiga, menurunkan efektivitas Dana pihak ketiga (DPK) terhimpun tapi belum produktif. Keempat, beban operasional tetap jalan biaya persetujuan kredit sudah keluar, tapi belum memberi hasil. Kelima, indikasi ketidakpastian pasar bisa mencerminkan penurunan kepercayaan pelaku usaha," paparnya.

Selain berdampak terhadap bank-bank tersebut, Darmadi mengingatkan bahwa kondisi demikian bisa berefek negatif terhadap roda perekonomian bangsa dan negara.

"Implikasinya. pertama, pertumbuhan PDB lebih lambat karena konsumsi dan investasi tertahan. Kedua, proyek-proyek produktif tertunda Terutama pada sektor manufaktur dan infrastruktur. Ketiga, daya serap tenaga kerja terganggu. Keterlambatan proyek berdampak pada rekrutmen dan upah. Keempat, kredit UMKM bisa terdampak bila porsi kredit tertahan besar, maka fokus bank bisa menyempit," tandasnya.

Darmadi mencontohkan, implikasi negatif yang tengah terjadi pada bank-bank pelat merah dan BCA imbas adanya fenomena undisbursed loan tersebut. Menurutnya, datanya cukup mencemaskan. 

"BCA, misalnya kredit besar mereka tertunda di sektor properti dan manufaktur ekspor, karena tekanan global dan volatilitas suku bunga. Mandiri dan BRI terkena dampak dari proyek BUMN dan sektor agro yang menunggu kepastian iklim dan subsidi. BNI: kredit luar negeri dan sindikasi belum dicairkan karena proses tender lambat. BTN: KPR subsidi belum cair karena keterlambatan SK Kementerian" beber dia.

Baca: Ganjar Dorong Delapan Parpol di DPR RI Duduk Bersama

Oleh karenanya, Darmadi menyarankan agar bank-bank pelat merah khususnya, mengambil langkah-langkah strategis guna memulihkan kondisi tersebut.

"Tinjau ulang pipeline kredit dan fokus pada segmen yang siap cair cepat (quick disbursement loans). Perkuat komunikasi dengan nasabah agar ada kejelasan timeline pencairan. Diversifikasi produk agar tidak terlalu tergantung pada proyek besar atau korporasi konservatif," saran dia.

Darmadi menyarankan agar regulator (OJK, BI) melakukan monitor risiko sistemik dari idle credit, terutama bila rasio melewati 15% dari total approved loans.

"Terakhir, saya kira lebih penting yaitu percepat penyaluran proyek pemerintah dan insentif investasi agar kredit tidak stagnan," pungkasnya.

Quote