Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menilai polemik UMP 2026 harus dilihat secara utuh, tidak hanya dari besaran persentase kenaikan, tetapi dari substansi perlindungan kesejahteraan pekerja sebagaimana diamanatkan konstitusi.
“Dalam pemaparan Menteri Ketenagakerjaan sudah disebutkan indeks kenaikan berada di rentang 0,5 sampai 0,9. Ini jelas lebih baik dibanding PP 51 Tahun 2023 yang hanya 0,1 sampai 0,3, dan sudah mengacu pada kebutuhan hidup layak serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168,” kata Edy melalui rilis yang diterima Parlementaria, Kamis (18/12/2025).
Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri
Edy menjelaskan, dengan asumsi inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen, maka kenaikan UMP 2026 secara realistis berada pada kisaran 5,5 hingga 7,5 persen. Rentang ini, menurutnya, masih sejalan dengan harapan buruh untuk menjaga daya beli dan mencegah penurunan upah riil.
Namun demikian, Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa acuan utama penetapan UMP bukan semata formula, melainkan kebutuhan hidup layak pekerja di masing-masing daerah.
“Kalau upah minimum masih di bawah KHL, maka yang harus dijadikan patokan adalah KHL. Upah minimum harus dinaikkan hingga memenuhi kebutuhan hidup layak. Ini bagian dari amanat UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak,” tuturnya.
Lebih lanjut, Edy mengingatkan bahwa kenaikan upah nominal tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan jika tidak dibarengi pengendalian inflasi, terutama pada komponen pangan, perumahan, dan transportasi yang menjadi kebutuhan utama pekerja.
Baca: Ganjar dan Risma Pimpin PDI Perjuangan Distribusikan Bantuan
“Upah bisa naik, tapi kalau harga beras, sewa rumah, dan transportasi naik lebih tinggi, maka upah riil justru turun. Karena itu, pemerintah wajib menjaga inflasi dan memperkuat subsidi kebutuhan dasar agar daya beli buruh benar-benar terjaga,” ujarnya.
Edy juga mendorong agar kebijakan UMP diimbangi dengan dukungan bagi UMKM dan pekerja sektor informal, baik melalui peningkatan keterampilan maupun subsidi langsung untuk kebutuhan hidup pokok.
“Kesejahteraan pekerja tidak boleh hanya dibebankan pada pengusaha. Negara harus hadir melalui APBN dan APBD, terutama untuk pekerja UMKM dan informal, agar kebijakan upah tidak memperlebar kesenjangan dan benar-benar menurunkan angka kemiskinan,” ucap Legiselator Dapil Jawa Tengah.

















































































