Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi ll DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, angkat suara terkait penunjukan sejumlah figur dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran ke posisi komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ia menilai langkah tersebut mencerminkan praktik kekuasaan yang lebih mengutamakan loyalitas ketimbang etika dan profesionalisme.
"Dalam politik kekuasaan, aturan, moral, dan etika bukan faktor penting," kata Deddy pada Kamis (7/8/2025).
Pernyataan Deddy mencerminkan kekhawatiran yang meluas di kalangan oposisi maupun masyarakat sipil. Kursi-kursi komisaris di sejumlah perusahaan pelat merah belakangan ini diisi oleh nama-nama yang sebelumnya aktif sebagai bagian dari TKN Prabowo-Gibran.
Penunjukan tersebut diketahui melalui Surat Keputusan Menteri BUMN dan melibatkan perusahaan dari sektor energi, logistik, hingga perbankan.
Langkah ini memicu gelombang kritik yang menyebut adanya praktik “politik balas budi” yang menabrak prinsip meritokrasi dalam pengelolaan BUMN.
Kelompok relawan Ganjar Pranowo juga turut mengkritik, menilai bahwa pembagian jabatan kepada tim kampanye merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang mencederai integritas lembaga negara.
Pengamat politik dan akademisi menyebut penunjukan ini sebagai “vulgar transaksi politik”. Mereka mengingatkan bahwa BUMN adalah instrumen ekonomi negara yang semestinya dijalankan secara profesional dan bebas dari intervensi politik pasca pemilu.
Fenomena ini, menurut mereka, justru memperkuat oligarki kekuasaan dan mencoreng semangat reformasi birokrasi.
Ironisnya, sebelumnya salah satu tokoh Projo yang juga bagian dari TKN, Panel Barus, sempat mundur dari jabatan komisaris ketika bergabung dalam tim kampanye sebagai bentuk menjaga etika publik. Namun, perkembangan terbaru justru memperlihatkan banyak kursi strategis BUMN kini diisi kembali oleh eks anggota TKN.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian BUMN mengenai mekanisme dan dasar penunjukan komisaris tersebut. Publik pun mendesak agar proses seleksi dilakukan secara terbuka dan berdasarkan kompetensi, bukan karena pertimbangan politik semata.
Isu ini kembali membuka perdebatan lama mengenai netralitas BUMN dan pentingnya menjaga profesionalitas lembaga negara dari bayang-bayang kekuasaan politik.