Ikuti Kami

Deddy Ungkap Sengkarut Masalah Kelangkaan Minyak Goreng

Kemendag tidak boleh melepaskan harga minyak goreng sepenuhnya kepada mekanisme pasar belaka atau hanya mengatur minyak curah.

Deddy Ungkap Sengkarut Masalah Kelangkaan Minyak Goreng
Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus menilai, tiga paket kebijakan pemerintah tidak akan efektif menyelesaikan masalah kelangkaan dan harga mahal minyak goreng (migor) saat ini. Pertama, kebijakan pencabutan mekanisme DMO, DPO, dan HET. DMO adalah domestic market obligation. Sedangkan DPO adalah domestic price obligation untuk mengatur penyebaran minyak goreng (migor) di pasaran. Kemudian, DMO mewajibkan seluruh produsen migor ekspor mengalokasikan 30% dari volume produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.

Baca : Deddy Soroti Belum Selesainya Kelangkaan Minyak Goreng

 

Sementara itu, DPO mengatur harga minyak sawit mentah (CPO) di Tanah Air. “Kebijakan demikian yang terburu-buru menyebabkan pasokan semu yang tidak berkelanjutan serta harga minyak goreng kemasan yang tidak terkendali,” ujar Deddy, Jumat (25/3).

 

 

Kedua, kebijakan pemberian subsidi untuk minyak goreng curah melalui skema BPDPKS. Menurut Deddy, ini sangat rentan terhadap penyimpangan dalam bentuk migrasi konsumen, penimbunan, penyeludupan, serta pengalihan minyak goreng curah ke industri dan ke luar negeri.

 

Ketiga, kebijakan menaikkan pungutan ekspor (levy). Menurut Deddy, ini tidak akan efektif jika disparitas harga pasar internasional dengan domestik masih cukup lebar. Ia menilai, mengatasi kelangkaan minyak goreng sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebab, langkah fundamentalnya memastikan adanya pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok/sistem distribusinya tidak bocor.

 

“Masalah fundamental tersebut hanya bisa diatasi jika ada pengaturan tata niaga yang baik, adil dan transparan serta pengawasan, penegakan hukum yang konsisten dan efektif,” tutur Deddy.

 

Ia menilai, kenaikan harga migor konsisten sejak akhir tahun 2021 disebabkan pengaruh melonjaknya harga komoditas CPO dan turunannya di pasar dunia. Ini mendorong para pengusaha melakukan ekspor untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, sehingga menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga.

 

Ketika Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan kebijakan DMO, DPO dan HET, para produsen CPO banyak yang menahan produksinya. Dampaknya, pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan.

Disisi lain, CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng tidak tersalurkan. Sebab, terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi dan penyeludupan di tingkat distributor. “Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat,” tutur Deddy.

 

“Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya,” tegas Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.

Baca : Albert Marianus Diminta Tak Terlibat Persekongkolan Politik

Kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton. Sedangkan produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya, kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup. Persoalannya, kata dia, adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya.

 

“Tata niaga itu berarti harus dimulai sejak penentuan harga TBS, harga dan pasokan CPO, mekanisme distribusi dan harga ketika sampai di tingkat konsumen. Jika rantai pasok bahan baku dan distribusi produk tidak diawasi, penegakan hukumnya lemah maka persoalan tidak akan pernah selesai,” ucapnya.

 

Deddy mengaku sungguh tidak habis pikir dengan belum selesainya masalah ini. Padahal, kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas. Pasal 25, UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan secara jelas menyatakan migor merupakan salah satu komoditas yang ketersediaannya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga yang terjangkau.

Perpres N0.72/2015 dan Perpres No. 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kemendag dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang pentinglainnya. Termasuk, menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik, serta mengelola ekspor dan impor.

 

Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian. “Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru,” ucapnya.

 

Sebaiknya, kata dia, Kemendag mencabut Permen Menperin N0.8/2022. Selain tidak sejalan dengan UU, Permen itu juga tidak melibatkan berbagai piahk yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir. “Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, POLRI dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Deddy.

 

Kemendag, kata dia, tidak boleh melepaskan harga migor sepenuhnya kepada mekanisme pasar belaka atau hanya mengatur minyak curah. Namun, Kemendag harus mengendalikan harga migor kemasan agar sesuai keekonomiannya. Harga keekonomian berarti mempertimbangkan harga bahan baku, harga pokok produksi, biaya distribusi dan keuntungan yang wajar dengan kondisi makro ekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat. Itulah filosofi UU tentang perdagangan dan itu juga arti kehadiran negara.

 

“Tanpa pengawasan yang ketat dari hulu terkait pasokan bahan baku, distribusi produksi, pengendalian harga dan penegakan hukum yang tegas maka kebijakan apapun tidak akan mampu mengatasi kelangkaan dan harga yang mahal,” ucapnya.

 

Quote