Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan pentingnya penataan peran kolegium dalam Sistem Uji Kompetensi Nasional Tenaga Kesehatan.
Hal ini disampaikan Edy dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dirjen SDM Kesehatan Kemenkes, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), serta perwakilan kolegium kesehatan, dalam di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, baru-baru ini.
Edy menyampaikan apresiasinya atas proses harmonisasi antara Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi sudah mengarah pada penyusunan Sistem Uji Kompetensi Nasional yang lebih komprehensif dan terstruktur. Menurutnya ini langkah penting dalam upaya pembenahan SDM kesehatan.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Marsinah Lebih Layak
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini menekankan, bahwa instrumen dalam pengelolaan SDM kesehatan seperti MNKS, MNDT, perguruan tinggi, dan kolegium harus memiliki pembagian kewenangan yang jelas.
“Masing-masing unsur tidak boleh saling mengintervensi maupun memperkuat egosektoral yang dapat menghambat integrasi sistem,” kata Edy, seperti dirilis dpr.go.id.
Ia secara khusus menyoroti posisi kolegium, yang kini mengalami transisi besar setelah ditempatkan sebagai perpanjangan tangan negara, oleh UU Kesehatan.
Dengan status baru ini, kolegium dipandang harus bersikap terbuka, inklusif, serta menjadi rumah besar bagi para ilmuwan lintas institusi, tanpa terjebak pada kepentingan sektoral maupun sejarah organisasi.
“Paradigma melihat kolegium harus benar. Kolegium itu otonom, diisi para ilmuwan, dan memiliki kewenangan besar dalam memastikan kompetensi tenaga kesehatan. Maka tidak mungkin ada dua kolegium dalam satu disiplin,” tegas Edy.
Lebih lanjut, Edy mengapresiasi adanya penyempurnaan mekanisme kerja, termasuk pembagian peran antara penyelenggara pendidikan dan kolegium dalam penyusunan soal, penyediaan penguji, hingga pelaksanaan uji kompetensi.
Namun, ia sekaligus menekankan bahwa besarnya peran kolegium menuntut profesionalisme dan tanggung jawab tinggi. Menurut Edy, uji kompetensi harus mampu menjalankan filosofi assessment drives learning, yakni mendorong perbaikan pembelajaran dan manajemen pendidikan.
“Jika ingin mengubah cara belajar mahasiswa atau meningkatkan mutu manajemen pendidikan kesehatan, maka ubahlah uji kompetensinya,” ujarnya.
Edy mengingatkan risiko besar bila sistem uji kompetensi tidak dikelola dengan baik yakni peserta kompeten tidak lulus, atau sebaliknya peserta tidak kompeten justru lulus.
Baca: Ganjar Pranowo Tak Ambil Pusing
Dua kondisi ini menimbulkan keresahan publik sekaligus membahayakan keselamatan pasien.
Karena itu dia menuntut agar instrumen uji kompetensi bersifat valid, reliabel, praktis, serta berdampak langsung terhadap penguatan kurikulum dan proses pembelajaran di seluruh perguruan tinggi kesehatan.
Menutup paparannya, Edy kembali menegaskan bahwa kolegium harus diisi oleh para pakar yang berjiwa besar dan menjunjung independensi ilmu pengetahuan.
“Kolegium adalah pemegang otoritas uji kompetensi nasional. Karena itu harus menjadi rumah besar para ilmuwan, menjaga objektivitas, dan mengamankan amanah besar ini untuk kepentingan keselamatan rakyat,” kata dia.

















































































