Ikuti Kami

GMNI Tangkis Tuduhan Terhadap RUU HIP

Polemik yang menuduh bahwa RUU HIP membuka jalan bagi komunisme harus segera diakhiri!

GMNI Tangkis Tuduhan Terhadap RUU HIP
Ketua Umum GMNI Imanuel Cahyadi. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) meminta seluruh elemen masyarakat agar tidak mudah terprovokasi upaya adu domba para pihak yang tidak bertanggung jawab terkait polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). 

DPP GMNI pun menangkis semua tuduhan yang muncul terhadap RUU HIP. 

Baca: Sampai Kiamat, Komunisme Tetap Dilarang di Indonesia!

Ketua Umum GMNI Imanuel Cahyadi menyatakan polemik yang menuduh bahwa RUU HIP membuka jalan bagi komunisme harus segera diakhiri karena dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu stabilitas serta persatuan dan kesatuan nasional. 

"Untuk diketahui bahwa, TAP MPRS XXV/1966 tentang pelarangan Komunisme dinyatakan masih berlaku melalui TAP MPR No I Tahun 2003 khususnya Pasal 2. TAP ini menegaskan TAP MPRS dan TAP MPR  yang masih berlaku dari 1960 sd 2002, termasuk TAP MPRS No XXV/1966," ungkap Imanuel. 

Imanuel melanjutkan, hal itu bisa jadi opsi untuk memasukkan TAP MPR No 1 Tahun 2003 ke dalam konsideran menimbang dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila. 

GMNI pun menilai RUU HIP ini punya itikad kuat memperkuat Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

"Segala ideologi transnasional seperti komunisme, neo-liberalisme dan khilafahisme bertentangan dengan azas-azas dan sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia yang ber-Tuhan dan beragama yang berlandaskan faham gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. Karena itulah, RUU HIP dibutuhkan untuk memperkuat Pancasila dari 'serangan' ideologi-ideologi transnasional itu," tegas Imanuel. 

GMNI juga menilai, ruang demokrasi kini telah terbuka dan tiap usulan dan saran dapat dirumuskan dalam dialog. Termasuk terkait dengan RUU HIP ini. 

Karena itu,  musyawarah untuk mencari titik temu,  mufakat dan persetujuan penting untuk dilakukan.

"Tokoh bangsa dan elit nasional dapat berperan dalam hal musyawarah sebagai jalan demokratis merumuskan kebijaksanaan. Sehingga usulan terkait dimasukannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dalam konsideran menimbang bukanlah problem yang harus dibesar-besarkan dan menjadi ajang fitnah dan provokasi," ujar Imanuel. 

Imanuel juga mengindikasikan ada pihak-pihak yang  ingin memisahkan Pancasila dari 'roh' nya, yakni Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Padahal, pidato lahirnya Pancasila telah mendapatkan legitimasi yuridisnya dengan Keppres No.26 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. 

Keppres itu dalam konsideran menimbang huruf c menyatakan bahwa untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir. Soekarno kepada para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di depan sidang Badan tersebut pada tanggal 1 Juni 1945. 

Baca: Pancasila, Dari Pulau Ende Sampai Lebur Kiamat  

Kemudian dalam konsideran menimbang huruf  d, dinyatakan bahwa sejak kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 

Kemudian, dalam konsideran huruf e, dinyatakan bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.

"Maka DPP GMNI menyarankan pihak-pihak yang belum memahami Pancasila untuk membaca serta memahami secara utuh seluruh isi pidato yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI," tegas Imanuel.

Quote