Ikuti Kami

Kenneth Paparkan Syarat Jika ERP Diterapkan di Ibu Kota

Kebijakan ERP di 25 titik jalan ibukota bisa diterapkan jika pelayanan publik atau transportasi publik sudah maksimal.

Kenneth Paparkan Syarat Jika ERP Diterapkan di Ibu Kota
Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth menilai wacana kebijakan ERP di 25 titik jalan ibukota bisa diterapkan jika pelayanan publik atau transportasi publik sudah maksimal.

"Program ERP bisa diterapkan jika transportasi publik sudah maksimal di Jakarta, sejauh ini nyatanya bahwa pelayanan transportasi publik belum maksimal. Perlu dikaji kembali secara komprehensif, agar pengguna jalan tidak semakin resah dengan dampak ERP itu," kata Kenneth dalam keterangannya, Selasa (31/1).

Diketahui, ERP di Jakarta rencananya berlaku setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB di 25 ruas jalan Ibu Kota sepanjang 54 kilometer (km). Tarif yang diusulkan berkisar antara Rp 5 ribu hingga Rp19 ribu.

Secara rinci, 25 ruas jalan itu, yakni di Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Majapahit. Kemudian, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati mulai dari simpang Jalan Ketimun 1 sampai simpang Jalan TB Simatupang.

Baca: Gilbert Simanjuntak Kritik Wacana Penerapan Jalan Berbayar

Selanjutnya di Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya, Jalan S. Parman mulai simpang Jalan Tomang Raya sampai Jalan Gatot Subroto. 

Selain itu, Jalan Gatot Subroto, Jalan MT Haryono, Jalan Rasuna Said, Jalan DI Panjaitan, Jalan Jenderal Ahmad Yani mulai simpang Jalan Bekasi Timur Raya sampai simpang Jalan Perintis Kemerdekaan. Terakhir di Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Stasiun Senen dan Jalan Gunung Sahari.

Menurut Bang Kent, sapaan akrab Hardiyanto Kenneth, kebijakan ERP di 25 titik di ibukota akan berdampak langsung pada perekonomian masyarakat sebagai pengguna jalan, dan berpotensi akan menambah masalah baru.

"Kebijakan yang dipaksakan seperti ini otomatis akan membuat resah masyarakat dan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat menengah ke bawah, banyak masyarakat yang akan terkena imbasnya, seperti warga yang tinggal di Gajah Mada, Hayam Wuruk, Tomang dan Fatmawati, lalu juga ojek online, kurir, pekerja dan lainnya yang memiliki penghasilan pas-pasan, tentu penghasilannya akan berkurang karena harus membayar ERP ini," ujar Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta.

Baca juga: Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta: Pengecualian ERP Hanya untuk Kendaraan Pelat Kuning

Kent pun mengakui jika dirinya setuju dengan rencana Pemprov DKI yang akan menerapkan ERP di 25 ruas jalan, yang saat ini sudah diterapkan ganjil genap. Namun, ia menyarankan agar hal tersebut dilakukan secara bertahap.

"Lebih baik untuk sementara diterapkan di Jalan protokol seperti Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto dan Gunung Sahari, atau daerah-daerah perkantoran saja dulu. Cuma kalau caranya menentukan 25 ruas jalan secara sporadis seperti inilah yang saya rasa tidak pas. Sebagai contoh, warga yang tinggal di seputaran jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada dan Tomang, keluar rumah tiba-tiba di suruh bayar yang biasa sebelumnya enggak pernah bayar, pasti akan muncul banyak sekali pertanyaan dan penolakan dari masyarakat," kata dia.

"Seharusnya janganlah langsung diterapkan di 25 ruas jalan, tetapi lakukanlah secara bertahap sambil melihat progresnya, kemudian lakukan evaluasi secara terus-menerus, sambil menunggu peningkatan pelayanan angkutan umumnya. Apalagi kan sebentar lagi ada LRT Bodebek," lanjut Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BAGUNA) DPD PDI Perjuangan Jakarta itu.

Kent pun mempertanyakan sejumlah pasal yang terdapat di Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE), seperti Pasal 4, tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas: a. kemitraan; b. kemanfaatan; c. persaingan; d. pengelolaan risiko; e. transparansi; f. akuntabilitas; g. efektivitas; dan h. efisien. 

Di dalam Raperda Pasal 4, terdapat ada kemitraan. Itu kemitraan dalam bentuk apa? harus di jelaskan secara detil, jangan lantas nanti malah masyarakat yang harus menanggung resiko akibat yang ditimbulkan oleh pemerintah. Kondisi ekonomi masyarakat enggak semuanya sama. Bagi orang yang berpenghasilan berlebih mereka mampu membayarnya, tapi bagi orang ekonomi ke bawah bagaimana nasibnya? Jadi saya meminta dalam menyusun Raperda itu harus sama semangatnya, libatkan masyarakat, tanya pendapat masyarakat mengenai tarif yang akan diterapkan, kemudian tentang 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP ini apakah mereka setuju?," tuturnya.

Kent pun meminta Pemprov DKI untuk meningkatkan peran lurah dan camat untuk melakukan sosialisasi terkait dengan ERP tersebut.

Selain itu, Ibukota belum bisa mengikuti negara-negara maju dengan menerapkan kebijakan ERP itu.

"Kalau mau lebih tepat sasaran untuk bisa tingkatkan peran lurah dan camat suruh jalan lakukan pendekatan dengan warga melalui forum RT dan RW, karena RT dan RW inilah yang lebih mengenal warganya. Menurut saya Jakarta belum bisa mengikuti negara-negara maju dengan langsung menerapkan kebijakan ERP ini, harus melakukan banyak sekali kajian-kajian lebih mendalam. Pelayanan publik mereka sudah selesai, kemudian pajak kendaraan bermotor ditinggikan harganya, otomatis orang enggak akan mau beli kendaraan bermotor, karena mahal dan lebih memilih naik transportasi umum, kalau Jakarta sudah dalam kondisi seperti ini barulah pantas menerapkan ERP di 25 ruas jalan, kalau gak percaya coba silahkan di cek dan di kaji kembali, bener gak omongan saya," ujarnya.

Kent pun mencontohkan lalu lintas di Singapura, di negara yang berlambang Merlion itu warganya jarang membawa kendaraan pribadi mereka lebih mengandalkan transportasi umum.

"Di Singapura itu mencari parkir susah, harga kendaraan mahal, jadi membuat mereka enggan membawa kendaraan pribadi, tetapi apa? pelayanan publik mereka sudah sudah selesai, transportasi massalnya sudah tersistematis dan terintegrasi. mereka cukup membeli satu kartu sudah bisa kemana-mana, sangat strategis. Orang keluar rumah sudah bisa langsung ke tempat yang mereka tuju, dari sisi keamanan dan kenyamanan warga yang memakai transportasi umum ini juga sudah maksimal" tutur Kent.

Namun, satu hal yang membuat Kent merasa sangat khawatir lagi, jika Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya tetap keukeuh meresmikan kebijakan ERP di 25 ruas jalan, kemacetan akan terjadi di sejumlah jalan-jalan non protokol dan hanya memindahkan kemacetan.

"Jika tetap ngotot pemberlakukan ERP di 25 ruas jalan, itu hanya memindahkan lokasi kemacetan saja. Saya yakin kendaraan roda empat maupun roda dua akan mencari jalan alternatif lain dengan melintas di jalan-jalan lingkungan yang terdapat di permukiman padat penduduk atau kata lainnya jalan tikus, ini pasti akan menimbulkan masalah baru. Warga yang tinggal di perkampungan atau permukiman padat pasti akan komplen dan marah besar. apakah sudah di pikirkan resiko yang akan terjadi?" tutur Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI ini.

Terkait masalah driver ojek online hingga kurir paket, kata Kent, hal tersebut seharusnya bisa dikomunikasian dengan pihak provider, jangan sampai pembayaran ERP malah dibebankan kepada ojek online yang penghasilannya tidak seberapa, ditambah lagi harus membayar setiap melintas di 25 ruas jalan tersebut.

"Menindaklanjuti kegalauan kawan-kawan ojol dan kurir yang melakukan demonstrasi di halaman DPRD terkait kebijakan penerapan tarif ERP kemarin, bahwa sebenarnya masalah ini bisa dibicarakan antara provider dan pemprov DKI. Seyogyanya provider yang harus menyiapkan, mereka harus bisa mengikuti perkembangan zaman dong. Bisa melakukan komunikasi yang solutif dengan Pemprov terkait kebijakan ERP ini, jangan malah tarif tersebut dibebankan kepada kawan-kawan ojol atau kurir. Hal itu dilakukan agar semua bisa berjalan dengan baik dan tidak menambah beban kawan-kawan kurir atau ojol di kemudian harinya," katanya.

Baca: Banteng DPRD DKI: Dari 23 Janji Anies Hanya 4 Tercapai

Kent pun mempertanyakan soal transparansi dalam penerimaan tarif ERP tersebut. Ia khawatir hal tersebut akan dijadikan lahan korupsi baru bagi sejumlah oknum yang memanfaatkan momen tersebut.

"Penerimaan tarif ERP ini harus transparan, jangan sampai nanti malah menjadi lahan korupsi baru, tolong jelaskan dan sampaikan ke publik untuk apa uang ini. Jadi peran serta kelibatan masyarakat juga harus ada dalam hal ini agar semua jelas dan transparan," lanjut Kent.

Oleh karena itu, Kent pun meminta kepada Pemprov DKI Jakarta, Dinas Perhubungan dan Polda Metro Jaya agar mengkaji secara mendalam, mengenai peraturan ERP tersebut sebelum nantinya benar-benar diterapkan di Ibukota.

Karena peraturan tersebut akan berdampak sistemik dalam keberlangsungan hidup di Jakarta.

Dalam menerapkan peraturan itu, bukan hanya pada aspek teknisnya, bukan pada aspek sekadar mengatur, tetapi perhatikan juga aspek sosiologis, karena hambatan penerapan ERP di Indonesia itu biasanya adalah masalah kultur atau budaya. Sebagai pemimpin kalau membuat kebijakan itu harus bisa melihat 10 tahun kedepan atau 20 tahun kedepan terkait apa yang sudah kita kerjakan, karena hal itulah akan menjadi warisan buat anak dan cucu kita nanti, jangan kebijakan satu gubernur sebelumnya nanti ganti gubernur baru tidak bisa digunakan lagi, jangan seperti itu lah. yang ujung ujungnya membuat kebijakan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat saja, dosa kita semua," ucap Kent.

Kent berharap Plt Gubernur DKI Jakarta Heru Budi dapat melakukan pengkajian kembali terkait penerapan ERP di 25 ruas jalan ibukota.

"Saya melihat Pak PJ Gubernur ini adalah orang baik, dan Saya berharap Pak Heru bisa mendengar aspirasi ini. Aspirasi yang saya sampaikan ini adalah kumpulan dari keluhan para warga dan saya harus sampaikan ke Pak Heru," pungkasnya

Quote