Jakarta, Gesuri.id – Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali masuk agenda legislasi nasional. Namun, Masady Manggeng, politisi PDI Perjuangan asal Aceh, mengingatkan agar revisi tersebut tidak berhenti sebagai kosmetik politik semata.
Ia menegaskan, perubahan regulasi yang lahir dari MoU Helsinki 2005 itu harus mampu menjawab persoalan riil yang dihadapi rakyat Aceh.
“Revisi UUPA tidak boleh hanya menyesuaikan kepentingan elite. Ia harus ditopang kajian akademis yang komprehensif, riset empiris, dan analisis komparatif. Tanpa itu, pasal-pasal yang disusun hanya akan jadi teks mati,” kata Masady Manggeng di Jakarta, Sabtu 13 September 2025.
Baca: Ganjar Amini Pernyataan Puan Soal Nama Sekjen PDI Perjuangan
Menurutnya, keterlibatan perguruan tinggi dan masyarakat sipil menjadi kunci transparansi. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, kata dia, harus berani membuka draft revisi ke publik, agar masyarakat luas memahami arah perubahan regulasi. “Kalau prosesnya tertutup, publik Aceh hanya akan jadi penonton, sementara hasilnya dikendalikan segelintir elite,” ujarnya.
Aceh, lanjutnya, memiliki persoalan mendasar yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan retorika politik. Data BPS 2024 menunjukkan tingkat kemiskinan Aceh mencapai 14,4 persen, tertinggi di Sumatra, meski provinsi ini kaya akan gas, emas, dan sumber daya laut. “Inilah ironi Aceh. Regulasi yang memberi kewenangan luas harus dipastikan berdampak nyata pada kesejahteraan rakyat,” tegas Masady.
Ia menekankan perlunya kepastian kewenangan Pemerintah Aceh di sektor pertambangan, fiskal, dan kelautan. Tanpa itu, revisi UUPA tidak akan jauh berbeda dengan kegagalan otonomi khusus di Papua. “Papua sudah menerima lebih dari Rp 1000 triliun dana otsus sejak 2002, tapi IPM mereka tetap di bawah rata-rata nasional. Aceh harus belajar dari situ, jangan sampai kekhususan hanya menghasilkan ketimpangan baru,” katanya.
Masady juga menyoroti isu representasi politik. Dengan hanya 13 kursi DPR RI, suara Aceh kerap tenggelam di antara dominasi Jawa. Ia menilai penambahan kursi merupakan bentuk keadilan representasi, bukan sekadar privilese. Selain itu, revisi UUPA harus mengkaji pembentukan daerah otonomi baru untuk memperkuat kapasitas pemerintahan lokal.
Baca: Ganjar Nilai Ada Upaya Presiden Prabowo Rangkul PDI Perjuangan
Tak kalah penting, revisi UUPA harus mengakomodasi isu sosial yang selama ini kerap diabaikan. Nasib mantan kombatan, anak-anak syuhada, korban konflik, serta penguatan lembaga adat, menurutnya, bukan sekadar catatan sejarah, melainkan fondasi keadilan yang menopang perdamaian.
Bidang pendidikan dan keagamaan pun harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Data Kementerian Pendidikan 2023 mencatat rata-rata lama sekolah di Aceh baru 9,2 tahun, lebih rendah dari rata-rata nasional 9,6 tahun. “Kalau pendidikan diabaikan, maka generasi Aceh akan kembali terjebak dalam lingkaran kemiskinan,” ucapnya.
Ia menutup dengan peringatan keras bahwa revisi UUPA bukanlah sekadar urusan hukum dan politik, melainkan menyangkut masa depan Aceh. “Kalau hanya jadi kosmetik politik, Aceh akan kehilangan momentum. Revisi ini harus benar-benar untuk rakyat, bukan untuk elite,” pungkas Masady.