Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam menyoroti, utang jumbo proyek kereta Whoosh, dulu bernama Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang harus ditanggung PT Kereta Api Indonesia (Persero/KAI). Angkanya nyaris Rp1 triliun.
"Kami minta roadmap Kereta Whoosh, bapak bisa tanyakan ke Whoosh, bapak juga harus menguasai hal itu. Karena, kalau tidak, utang yang menjadi beban KAI, saya lihat kemarin baru Rp900 miliar di kuartal I-2025. Tapi di paparan bapak (disebutkan) Rp1,2 triliun. Artinya, beban ini kan tidak kecil," tegas Mufti saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan jajaran KAI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).
Politikus PDI Perjuangan itu, lantas, mempertanyakan solusi yang telah disusun Direktur Utama (Dirut) KAI, Bobby Rasyidin. Dalam penyelesaian utang ini, KAI jangan hanya mengandalkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
"Kalau hanya mengandalkan Danantara untuk menyelesaikan utang ini, juga tidak baik. Karena ini kan akibat salah kebijakan, kemudian menjadi utang. Ini bisa menjadi bagian dari buka lubang, tutup lubang. Sangat tidak mendidik," jelasnya.
Dia mengingatkan, tidak seluruh lapisan masyarakat saat ini, bisa menikmati Kereta Whoosh. Karena harga tiketnya masih tergolong mahal. Padahal, filosofi kereta api adalah moda transportasinya wong cilik.
"Bahkan, kami saja naik Kereta Whoosh, enggak murah juga. Beban juga bagi kami. Apalagi rakyat-rakyat yang mereka tidak tinggal di Jakarta dan sekitarnya, jangan sampai mereka bayar pajak hanya untuk membayar utang-utang yang ditanggung oleh KAI," tandasnya.
Sebagai informasi, operasional Kereta Whoosh yang dibangun era Jokowi, masih merugi. Masalahnya, kerugian yang cukup besar itu harus ditanggung beberapa perusahaan pelat merah atau BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Berdasarkan Laporan Keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero/KAI) per 30 Juni 2025 (unaudited), PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) selaku entitas asosiasi KAI, mencatatkan kerugian Rp1,625 triliun di paruh pertama 2025.
Kerugian ini, ternyata lanjutan dari tahun sebelumnya, di mana, PT PSBI tekor besar hingga Rp 4,195 triliun. Dampak dari tekor jumbo kereta Whoosh ini, harus ditanggung renteng 4 BUMN yang menjadi anggota konsorsium.
Mereka adalah KAI, PT Wijaya Karya Tbk (Persero/WIKA), PT Jasa Marga Tbk (Persero/JSMR), dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero/PTPN VIII).
Paling apes adalah KAI sebagai leading konsorsium, kepemilikan sahamnya 58,53 persen di PT PSBI. Enam bulan pertama di tahun ini, KAI harus menanggung kerugian nyaris Rp1 triliun. Tepatnya Rp951,48 miliar.
Sementara pada 2024, KAI ikut menanggung tekor hingga Rp2,23 triliun. Tentu saja, kerugian kereta Whoosh ini, membuat keuangan KAI 'berdarah-darah'. Kalau ditotal kerugian yang harus ditanggung KAI mencapai Rp3,23 triliun.
Mengingatkan saja, dulu namanya proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), mendapat banyak kritik dari kalangan ekonom. Karena memberatkan keuangan negara atau BUMN.
Apalagi, proyek ini dibiayai dari duit utangan China Development Bank (CDB), sisanya ditopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta modal dari sejumlah BUMN yang membentuk konsorsium dengan China.
Dikerjakan sejak 2016, proyek KCJB mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS, setara sekitar Rp 18,02 triliun. Hasil audit bersama yang disepakati kedua negara mencatat, total biaya pembangunan KCJB kini membengkak menjadi 7,27 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 108,14 triliun.
Sementara dari pihak China, bergabung lima perusahaan, yaitu China Railway International Company Limited, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, serta China Railway Signal and Communication Corp.
Di Indonesia, keempat BUMN tersebut membentuk badan usaha bernama PT PSBI. Adapun pihak China membentuk konsorsium China Railway. Kedua pihak kemudian mendirikan konsorsium bersama dengan nama PT KCIC.
Dalam struktur kepemilikan, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia memegang 60 persen saham KCIC, sedangkan 40 persen sisanya dikuasai konsorsium China.