Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Mufti Anam, menegaskan Undang-Undang (UU) BUMN tidak membatasi peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ia menegaskan bahwa meskipun ada regulasi tersebut, penegakan hukum tetap dapat dilakukan jika ada indikasi kuat terkait tindak pidana korupsi.
“Penindakan hukum tetap bisa dilakukan jika memang terjadi fraud dan tindak pidana korupsi,” kata Mufti, pada Jumat (8/5/2025),
Ia memberikan jaminan bahwa upaya hukum terhadap korupsi tetap terbuka lebar, meskipun ada aturan baru yang hadir dengan sengaja atau tidak sengaja membatasi ruang gerak KPK.
Mufti menambahkan, dalam menangani persoalan hukum, pihaknya mendorong semua pihak untuk melihat permasalahan secara komprehensif.
Menurutnya, ada banyak regulasi lain yang juga mengatur penanganan keuangan negara, yang menjadi landasan hukum dalam penegakan hukum di sektor BUMN.
“Kita harus melihatnya secara integral, termasuk dengan regulasi yang lain berkaitan dengan keuangan negara,” ungkapnya.
Mufti kemudian memberikan contoh bagaimana jika terdapat masalah dalam perencanaan bisnis BUMN, seperti ketidaksesuaian yang mengarah pada penyelewengan atau fraud, maka hal tersebut tetap dapat dikenakan sanksi pidana.
“Misalnya, jika perencanaan bisnis BUMN sudah tidak proper, atau malah fraud, korupsi, ya bisa dipidana,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, Mufti memastikan bahwa aparat penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kementerian BUMN, sepakat untuk menindaklanjuti setiap dugaan kasus korupsi di tubuh BUMN.
“Dan semua pihak sepakat, baik itu KPK, Kejaksaan, Kepolisian, bahkan juga Kementerian BUMN, bahwa jika ada pidana korupsi di BUMN ya tetap harus diproses,” tegasnya.
Di tengah polemik yang muncul, Ketua KPK Setyo Budiyanto turut memberikan respons terhadap salah satu pasal dalam UU BUMN yang menyebutkan bahwa direksi BUMN bukanlah penyelenggara negara.
Ia menjelaskan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan aturan yang sudah ada dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“KPK menyatakan ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup Penyelenggara Negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999,” ucapnya.
Menurutnya, UU 28/1999 memberikan dasar hukum untuk mengatur penyelenggaraan negara yang bebas dari praktik KKN dan tetap relevan dengan prinsip-prinsip yang dipegang oleh KPK.
Setyo juga memastikan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan BUMN, sepanjang ada unsur penyelenggara negara atau kerugian negara yang timbul dari tindak pidana tersebut.
“Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” tegasnya, memberikan kepastian bahwa KPK akan terus berperan dalam menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan negara.
Kedua pihak, baik dari legislatif maupun eksekutif, sepakat bahwa korupsi, khususnya yang terjadi di BUMN, harus tetap ditindak tegas, dan regulasi yang ada hanya berfungsi sebagai pengarah, bukan penghambat dalam upaya pemberantasan korupsi.