Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Nico Siahaan, menyoroti rencana pemerintah untuk menerapkan sertifikasi bagi influencer di media sosial.
Menurutnya, langkah tersebut belum menjadi prioritas utama dibanding masalah-masalah lain yang lebih mendesak di ruang digital, seperti penanganan akun anonim, maraknya kasus scam, serta kebocoran data pribadi masyarakat.
“Masalah utama di dunia digital kita bukan cuma siapa yang punya sertifikat, tapi siapa yang bersembunyi di balik anonim. Akun tanpa identitas masih bebas menyebar fitnah, hoaks, ujaran kebencian sampai penipuan tapi lolos dari tanggung jawab,” kata Nico, Rabu (5/11/2025).
Nico menilai urgensi penanganan terhadap anonimitas akun semakin tinggi, terutama jika melihat laporan Asia Scam Report 2024 yang dirilis Global Anti-Scam Alliance (GASA). Dalam laporan itu disebutkan bahwa 65 persen warga Indonesia menjadi target scam setiap minggu, dan sebagian besar penipuan dilakukan oleh akun-akun anonim yang sulit dilacak.
“Makanya, sebelum bahas sertifikasi influencer, yuk tuntaskan dulu soal mitigasi dan penegakan hukum terhadap akun-akun anonim dan scammer yang merusak ruang publik digital,” ucap Nico.
Politikus PDI Perjuangan itu juga mengingatkan agar Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) lebih cermat dalam menentukan prioritas kebijakan. Ia menilai, regulasi seperti sertifikasi influencer tidak boleh sekadar meniru kebijakan negara lain tanpa menyesuaikan kebutuhan dan kondisi nasional.
“Dari mulai kasus penipuan dan kebocoran data yang terus-terusan terjadi, harusnya Kemkomdigi bisa nentuin prioritas antara mengisi kekosongan hukum dan memperkuat penegakan regulasi atau buat regulasi tambahan yang belum urgent,” tegasnya.
Di sisi lain, Nico tetap mengakui pentingnya peningkatan kompetensi di ruang digital, namun mengingatkan agar kebijakan baru tidak sampai membatasi kebebasan berekspresi masyarakat.
“Kompetensi perlu dijaga, tapi jangan sampai kebijakan ini justru mengekang kebebasan berekspresi. Kita ingin ruang digital tetap sehat sekaligus aman dan terbuka,” ujarnya.
Lebih lanjut, Nico menegaskan bahwa anonimitas akun dan kebocoran data merupakan dua persoalan besar yang telah nyata menimbulkan banyak korban dan kerugian.
“Kenapa mengatasi anonimitas akun dan kebocoran data lebih penting? Karena keduanya udah kejadian dan nimbulin korban sama kerugian,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat komunikasi digital dari Unika Soegijapranata, Paulus Angre Edvra, menilai bahwa penerapan kebijakan sertifikasi influencer, seperti yang dilakukan China, berisiko jika langsung diadopsi mentah-mentah di Indonesia. Menurutnya, banyak kreator Indonesia yang telah berkontribusi secara positif meski tanpa gelar akademik atau sertifikasi formal.
“Jangan sampai setelah ada izin, influencer jadi tidak bebas mengkritik. Takutnya terjadi pembungkaman atau pengarahan oleh pemerintah. Bagaimanapun juga, ada track record bahwa media pernah digunakan untuk propaganda untuk menyelamatkan wajah pemerintah. Nah, ini yang perlu kita awasi,” pungkasnya.

















































































