Jakarta, Gesuri.id - Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan, kekuasaan sejati adalah amanah untuk melayani rakyat, bukan sekadar simbol atau alat politik. Dalam pidatonya, ia menggunakan metafora “cinta segitiga” untuk menggambarkan ketegangan antara aspirasi rakyat, ketersediaan anggaran, dan kepatuhan terhadap aturan yang kerap menjadi penghambat cepatnya respons pemerintah.
Demikian hal ini dirinya sampaikan dalam agenda Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025). Dengan segala sumber daya yang Indonesia miliki, ungkapnya, mulai dari birokrasi, anggaran, sumber daya alam, hingga kewenangan, rakyat menaruh harapan besar agar negara selalu hadir secara nyata.
Bagi Puan, kehadiran negara selama ini kerap terasa terbatas pada pidato atau baliho. Padahal, jelasnya, masyarakat menantikan keadilan sosial yang belum sepenuhnya dirasakan, entah di sawah, sekolah, rumah sakit, bahkan kampung-kampung tertinggal, terdepan, dan terluar.
“Bagi rakyat yang membutuhkan kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan hidupnya, menunggu satu hari saja terasa sangat lama. Tetapi bagi kita, para pemangku kekuasaan di DPR dan pemerintah, membahas dan mencari solusi atas persoalan rakyat sering kali berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,” ujar Puan.
Metafora “cinta segitiga” yang digunakan Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu bukan sekadar retoris. Ia merujuk pada tarik-menarik yang terus berlangsung di lingkup kekuasaan berupa aspirasi rakyat menuntut kepastian dan kecepatan, anggaran membatasi ruang gerak kebijakan, dan aturan legal sering kali menahan langkah cepat pemerintah.
Ketiganya terkadang berjalan paralel namun tidak selalu selaras, sehingga urusan rakyat tetap menunggu. Oleh karena itu, dirinya menekankan bahwa tugas para pemegang amanat kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, adalah menghadirkan kebijakan yang benar-benar melayani dan mensejahterakan rakyat.
Puan juga menekankan negara harus hadir secepat mungkin dalam menyelesaikan urusan rakyat. Menurutnya, keberpihakan pada rakyat tidak cukup sekadar diucapkan, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata dan terencana. Di sisi lain, ia tetap mengapresiasi langkah cepat pemerintah yang menangani berbagai persoalan strategis yang menyentuh kepentingan publik.
Meski demikian, ia menekankan bahwa keberpihakan tidak boleh bersifat reaktif semata. Langkah-langkah yang diambil, terangnya, harus menjadi bagian dari kinerja reguler pemerintah, dirancang dengan perencanaan matang, dan konsisten dilaksanakan untuk mengurangi ketergantungan rakyat pada respons ad-hoc.
“Kekuasaan bukan untuk menakuti rakyat, melainkan untuk menyelesaikan urusan rakyat, meskipun seringkali urusannya rumit, ibarat cinta segitiga antara aspirasi, anggaran, dan aturan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Puan menambahkan, serumit apapun konflik antara aspirasi, anggaran, dan aturan, selalu ada jalan untuk menemukan solusi terbaik bagi bangsa. Menurutnya, jalan ini memerlukan keberanian, komitmen, dan kemampuan untuk menyeimbangkan ketiga elemen agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya formal, tetapi benar-benar berdampak.
Bagi Puan, inti dari kekuasaan adalah keberpihakan yang nyata dan konsisten terhadap rakyat. Di penghujung pidato, ia menyisipkan pesan reflektif untuk menegaskan perlunya bergerak maju dari cara lama.
Dirinya menekankan negara dan para pemegang kekuasaan harus “moved on” dari pola birokrasi yang lamban, dari rutinitas yang hanya formal, serta dari kebiasaan menunda penyelesaian masalah rakyat. Dengan cara itu, ujarnya, metafora cinta segitiga tidak lagi menjadi hambatan, tetapi pendorong bagi terciptanya pelayanan publik yang lebih responsif, adil, dan mensejahterakan masyarakat.
“Tugas kita bukan hanya membicarakan harapan rakyat, tetapi juga mewujudkannya. Pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya harus senantiasa mawas diri sebab kekuasaan sejatinya adalah untuk melayani, membantu, dan memberdayakan rakyat,” pungkas Puan.