Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Samuel Wattimena mengajak para pelaku pariwisata untuk mengembangkan desa wisata berbasis kearifan lokal dan keunggulan yang dimiliki masing-masing.
"Mereka harus paham apa sih yang desa ini miliki, apa sih kelebihan desa ini," katanya, saat "Sosialisasi Penguatan Promosi Desa Wisata Melalui Penyelenggaraan Event", di Semarang, Sabtu.
Menurut dia, kearifan lokal atau keunggulan bisa saja berbeda masing-masing desa wisata, misalnya banyak mata air, hamparan sawah luas, kebersihan desa, kuliner, hingga gaya hidup masyarakatnya.
Baca: Kenneth Kritik Makin Lemahnya Pengawasan Terhadap Ruang Publik
"Ini kelebihan yang menurut saya harus jadi pokok untuk mereka menghargai. Karena kalau mereka enggak tahu apa yang mereka miliki, mereka enggak hargain," katanya.
Ia mengatakan jangan kemudian mengembangkan desa wisata secara latah meniru apa yang desa-desa lain lakukan, padahal desa tersebut tidak memiliki kearifan lokal yang sama.
"Akhirnya mereka cuma sibuk ngikutin, orang bilang harus gini, orang bilang harus gitu. Tamu yang ini minta gini, tamu yang itu minta gitu, enggak boleh," katanya.
Artinya, kata dia, pengelola desa wisata harus teguh mengembangkan kearifan lokal yang dimiliki, serta terus mengasah apa saja keunggulan yang menjadi ciri khas desanya.
"Nah, yang belum kita punya ini, ini yang harus harus dipoles menurut saya. Karena setiap desa wisata pasti tidak sama. Kalau mereka tahu apa perbedaannya," katanya.
Soal potensi, ia mengatakan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi desa wisata, tetapi tidak cukup jika tidak diimbangi dengan kemampuan mengelolanya.
"Kita punya semuanya di negeri ini. Kita punya kebudayaan yang berbeda-beda. Jadi kalau bicara potensi, puji Tuhan, Alhamdulillah, bersyukur negeri ini berlimpah dengan potensi," katanya.
Bahkan, kata dia, kearifan lokal yang selama ini menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia juga perlu dipahami tidak kalah dengan gaya hidup masyarakat negara-negara maju.
Ia mencontohkan kebiasaan masyarakat banyak yang langsung makan dengan tangan alias tidak menggunakan peralatan, seperti sendok dan garpu.
"Ini salah satu yang saya ingin soroti. 'Lifestyle' kita itu sama sekali tidak menjadikan kita masyarakat kelas dua di dunia ini. Persoalannya kita tidak menghargai kebiasaan kita," katanya.
Kemudian, kata dia, berjalan tanpa alas kaki alias "nyeker" yang sudah sejak dulu menjadi kebiasaan masyarakat, tetapi sekarang seolah terpinggirkan dengan budaya modern memakai alas kaki.
"Sekarang di dunia lagi demam 'slow living', 'meaningful living'. Kita dari dulu udah gitu, malah kita jadi gamang karena info harus beralas kaki. Kita jadi gamang karena kalau makan harus pakai sendok, garpu, dan pisau," katanya.
Samuel Wattimena Ajak Pelaku Pariwisata Kembangkan Desa Wisata Berbasis Kearifan Lokal
Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Samuel Wattimena mengajak para pelaku pariwisata untuk mengembangkan desa wisata berbasis kearifan lokal dan keunggulan yang dimiliki masing-masing.
"Mereka harus paham apa sih yang desa ini miliki, apa sih kelebihan desa ini," katanya, saat "Sosialisasi Penguatan Promosi Desa Wisata Melalui Penyelenggaraan Event", di Semarang, Sabtu.
Menurut dia, kearifan lokal atau keunggulan bisa saja berbeda masing-masing desa wisata, misalnya banyak mata air, hamparan sawah luas, kebersihan desa, kuliner, hingga gaya hidup masyarakatnya.
"Ini kelebihan yang menurut saya harus jadi pokok untuk mereka menghargai. Karena kalau mereka enggak tahu apa yang mereka miliki, mereka enggak hargain," katanya.
Ia mengatakan jangan kemudian mengembangkan desa wisata secara latah meniru apa yang desa-desa lain lakukan, padahal desa tersebut tidak memiliki kearifan lokal yang sama.
"Akhirnya mereka cuma sibuk ngikutin, orang bilang harus gini, orang bilang harus gitu. Tamu yang ini minta gini, tamu yang itu minta gitu, enggak boleh," katanya.
Artinya, kata dia, pengelola desa wisata harus teguh mengembangkan kearifan lokal yang dimiliki, serta terus mengasah apa saja keunggulan yang menjadi ciri khas desanya.
"Nah, yang belum kita punya ini, ini yang harus harus dipoles menurut saya. Karena setiap desa wisata pasti tidak sama. Kalau mereka tahu apa perbedaannya," katanya.
Soal potensi, ia mengatakan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi desa wisata, tetapi tidak cukup jika tidak diimbangi dengan kemampuan mengelolanya.
"Kita punya semuanya di negeri ini. Kita punya kebudayaan yang berbeda-beda. Jadi kalau bicara potensi, puji Tuhan, Alhamdulillah, bersyukur negeri ini berlimpah dengan potensi," katanya.
Bahkan, kata dia, kearifan lokal yang selama ini menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia juga perlu dipahami tidak kalah dengan gaya hidup masyarakat negara-negara maju.
Baca: Ganjar Apresiasi Antusiasme Pemuda Kalimantan Selatan
Ia mencontohkan kebiasaan masyarakat banyak yang langsung makan dengan tangan alias tidak menggunakan peralatan, seperti sendok dan garpu.
"Ini salah satu yang saya ingin soroti. 'Lifestyle' kita itu sama sekali tidak menjadikan kita masyarakat kelas dua di dunia ini. Persoalannya kita tidak menghargai kebiasaan kita," katanya.
Kemudian, kata dia, berjalan tanpa alas kaki alias "nyeker" yang sudah sejak dulu menjadi kebiasaan masyarakat, tetapi sekarang seolah terpinggirkan dengan budaya modern memakai alas kaki.
"Sekarang di dunia lagi demam 'slow living', 'meaningful living'. Kita dari dulu udah gitu, malah kita jadi gamang karena info harus beralas kaki. Kita jadi gamang karena kalau makan harus pakai sendok, garpu, dan pisau," katanya.

















































































