Jakarta, Gesuri.id - Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Sri Untari Bisowarno, menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan ekstrem di Jawa Timur tidak bisa dilakukan dengan pendekatan biasa.
Diperlukan strategi khusus yang berbasis data terpadu, intervensi program yang tepat sasaran, serta kolaborasi aktif antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Sri Untari, kemiskinan ekstrem adalah kategori paling rentan dalam struktur sosial masyarakat. Mereka yang masuk dalam kelompok ini biasanya berada di desil (ukuran statistik kemiskinan, 1-10) 1 dan 2 dalam distribusi pendapatan. Yakni masyarakat yang hanya memiliki penghasilan sekitar Rp 500 ribu per bulan. Angka ini menjadi indikator utama dalam pemetaan kelompok miskin ekstrem di Jawa Timur.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
“Ada upaya yang cukup serius dari pemerintah baik secara global, nasional, maupun di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota untuk menanggulangi kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem. Tapi kita perlu melihat secara cermat siapa yang paling membutuhkan intervensi. Kita berbicara tentang masyarakat yang penghasilannya hanya setengah juta sebulan. Mereka tersebar di wilayah-wilayah padat penduduk dan luas akses wilayahnya,” ungkap Sri Untari, Selasa (29/7/2025).
Perempuan yang juga Sekretaris DPD PDI Perjuangan Jatim tersebut mengungkapkan, beberapa daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem cukup tinggi antara lain Kabupaten Malang, Ponorogo, Situbondo, Bondowoso, Jember, serta kawasan Madura.
Faktor geografis, keterbatasan infrastruktur, hingga akses pelayanan publik menjadi penyebab mengapa wilayah-wilayah tersebut menjadi kantong kemiskinan ekstrem.
Dari sisi ekonomi makro, Jawa Timur saat ini mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen. Angka ini masih berada di bawah target ideal tahun pertama sebesar 4,8 hingga 5,2 persen. Menurut Sri Untari, kondisi tersebut masih dipengaruhi oleh tekanan ekonomi global dan penurunan daya beli masyarakat.
“PHK di Jawa Timur per Mei 2025 tercatat sebanyak 481 kasus per bulan. Ini memang lebih rendah dari tahun sebelumnya, tapi tetap jadi alarm. Karena PHK bukan hanya memengaruhi individu, tapi bisa menggeser lapisan kelas menengah turun ke kelas bawah. Itu artinya, perjalanan ekonomi kita melambat,” jelasnya.
Sri Untari juga mengungkap bahwa seluruh daerah di Jawa Timur saat ini belum ada yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen. Bahkan, Jatim yang dulunya sempat menyentuh 7,7 persen kini mengalami penurunan signifikan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Komisi E DPRD Jawa Timur mendorong pendekatan pengentasan kemiskinan berbasis peningkatan pendapatan masyarakat, terutama melalui penguatan ekonomi mikro dan ekonomi kerakyatan. Salah satu fokus program adalah pemberdayaan kepala keluarga perempuan melalui skema bantuan modal usaha.
“Kami mendukung program Perempuan Jawara, yang menyasar para kepala keluarga perempuan atau para janda. Program ini dikelola oleh Dinas Sosial, mitra kerja Komisi E, dengan memberikan akses modal usaha agar mereka bisa bangkit secara ekonomi,” kata Untari.
DPRD juga menggarisbawahi pentingnya memperkuat pendidikan dan layanan kesehatan. Sebab, ketika pertumbuhan ekonomi melemah, kualitas layanan publik—terutama pendidikan dan kesehatan—juga berisiko menurun. Maka, perlu sinergi lintas sektor untuk menjaga agar sektor-sektor vital ini tetap mampu menopang ketahanan sosial masyarakat miskin ekstrem.
Sri Untari turut menyinggung soal ketimpangan kesejahteraan yang tercermin dari indeks Gini dan indeks Theil. Menurutnya, kesenjangan antara wilayah kota dan desa masih cukup tajam. Untuk itu, ia mengusulkan agar program koperasi menjadi instrumen utama dalam menggerakkan ekonomi pedesaan secara kolektif.
“Jawaban dari ketimpangan ini adalah Koperasi Merah Putih. Ketika koperasi berjalan, maka ekonomi desa akan berputar. Ini adalah jalan kita untuk memastikan pemerataan,” ujarnya.
Baca: Ganjar Pranowo Ajak Kepala Daerah Praktek Pancasila
Lebih lanjut, Sri Untari menekankan pentingnya integrasi data dan sinergi lintas pemerintahan. Menurutnya, intervensi dari Pemprov Jatim hanya akan efektif jika data dari kabupaten/kota akurat dan digunakan bersama sebagai basis kebijakan.
“Kami akan turun ke daerah-daerah, bersinergi dengan teman-teman fraksi di kabupaten dan kota. Harus ada kolaborasi antardaerah dan antar-OPD. Karena data itu datangnya dari kabupaten/kota, dan Jatim bisa memberikan intervensi jika data itu benar-benar valid dan terpadu,” tuturnya.
Sebagai Ketua Komisi E yang membidangi urusan sosial, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, Sri Untari memastikan bahwa pihaknya akan terus mendorong kolaborasi konkret antarsektor. Ia juga menegaskan bahwa kerja pengentasan kemiskinan ekstrem bukan semata-mata soal anggaran, tetapi tentang keberpihakan dan keberanian menyasar kelompok yang paling tertinggal.
“Langkah kita harus tepat. Ini bukan sekadar memberi bantuan, tapi tentang menciptakan sistem yang bisa menarik mereka keluar dari lingkaran kemiskinan. Membangun ekonomi mikro, memperkuat pendidikan, menjamin layanan kesehatan, dan memastikan ada akses usaha untuk perempuan dan pemuda. Itulah jalan yang harus kita tempuh bersama,” pungkasnya