Ikuti Kami

Jubir TPN Deddy Sitorus: Hak Angket Bukan Drama Menakutkan 

Bagi PDI Perjuangan hak angket bukan hanya soal perolehan suara, atau siapa yang menang dan kalah, tapi proses pemilu 2024.

Jubir TPN Deddy Sitorus: Hak Angket Bukan Drama Menakutkan 

Jakarta, Gesuri.id - Hak angket DPR tentang Pemilu 2024 tidak perlu diframing seolah-olah seperti drama yang menakutkan. Pasalnya, hak angket sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pernyataan itu, disampaikan Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Deddy Sitorus, dalam acara Indonesia Lawyers Club, pada Kamis (29/2) yang mengangkat tema "Hak angket DPR Seampuh Apa: Bisakah Hak Angket Membatalkan Pemilu?  

Menurut Deddy, pada tahun 1950-an, ada hak angket tentang penggunaan devisa yang diajukan saat pemerintahan Presiden Soekarno. Pada zaman Presiden Soeharto, ada hak angket tentang Pertamina. 

Begitu pula zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ada hak angket tentang Bulog Gate dan Brunei Gate. Selanjutnya, di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ada hak angket tentang Dana Non Budgeter Bulog. 

Sementara itu, di zaman Presiden SBY tercatat ada banyak hak angket yang dilakukan DPR, antara lain hak angket tentang Pertamina, hak angket impor beras, hak angket penyelesaian kasus BLBI, hak angket DPT Pemilu Tahun 2009, hak angket Bank Century, serta hak angket tentang KPK pada tahun 2017. 


"Jadi saya bingung sejak kapan hak angket menjadi drama yang menakutkan? Dalam sejarah bangsa ini dari zaman Bung Karno sudah ada hak angket tentang penggunaan devisa, itu tahun 50-an. Tapi sekarang ada framing seolah-olah hak angket ini sesuatu yang salah, bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan nalar publik, dan sesuatu yang haram," kata Deddy, seperti dikutip Jumat (1/3). 

Menurut dia, hak angket tentang penyelenggaraan Pemilu 2024 seharusnya tidak mendapat penolakan oleh partai peserta pemilu, bahkan pasangan calon (paslon) di Pilpres 2024. 

Hal itu disebabkan penyelenggaraan Pemilu 2024 menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat terkait berbagai kejanggalan dan kecurangan yang terjadi secara telanjang serta mudah diketahui melalui media sosial (medsos) dan media mainstream tanpa perlu melakukan investigasi. 

Berbagai kecurangan itu, antara lain terkait politisasi bansos, money politic, pengerahan aparat, intimidasi, quick count, hingga Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang error.

"Pertanyaan-pertanyaan ini yang membutuhkan hak angket agar bisa menyelidiki dan membuka persoalan. Mempercakapkan masalah ini dalam forum DPR melalui hak angket adalah hal yang konstitusional, meskipun saat ini yang sangat gerah justru orang yang di-framing menjadi pemenang pemilu," ujar Deddy.

Ancaman Individu 

Politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu mengungkapkan, ada upaya menggemboskan hak angket dengan ancaman individu. Hal itu merupakan praktik yang kerap dilakukan saat pemerintahan Orde Baru, di mana siapa pun yang tidak sejalan dengan Presiden Soeharto akan diinjak atau dihilangkan. 

Padahal, lanjutnya, hak angket bukan soal siapa yang menang, berapa suara yang diperoleh, melainkan tentang bagaimana pemerintah atau penguasa bertanggung-jawab dalam penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil, serta langsung, umum, bebas, dan rahasia (jurdil dan luber).

"Harus dicatat belum ada hasil pemilu yang sudah ditetapkan KPU, sehingga jangan anti dulu ketika hak angket ini diajukan untuk membongkar soal berbagai dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu," tutur Deddy.

Dia mengungkapkan, hak angket memiliki setidaknya 5 fungsi positif. Pertama, memungkinkan lembaga legislatif melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah maupun badan eksekutif lainnya. 

Kedua, dapat meningkatkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun kekuasaan. Ketiga, membantu memastikan akuntabilitas pemerintah atau penyelenggara kekuasaan kepada rakyat. 

Keempat, hasil dari proses angket dapat digunakan sebagai dasar perbaikan kebijakan atau prosedur dalam penyelenggaraan kekuasaan. Kelima, menjadi sarana pendidikan politik kepada masyarakat. 

Hal ini lah yang melatarbelakangi PDI Perjuangan mengusung hak angket terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 untuk menyelidiki apakah prosesnya berjalan secara demokratis dan tidak melibatkan intervensi kekuasaan.

"Bagi PDI Perjuangan hak angket bukan hanya soal perolehan suara, atau siapa yang menang dan kalah, tetapi bagaimana agar semua proses busuk dalam Pemilu 2024 tidak lagi terulang," tutur Deddy. 

Dia menambahkan, sekarang tim dari paslon 3 sedang mengumpulkan alat bukti  untuk mendukung pengajuan hak angket di DPR. Langkah yang sama juga  dilakukan tim pemenangan Paslon 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. 

Menurut Deddy, seharusnya langkah yang sama juga dilakukan tim kemenangan nasional (TKN) paslon 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka karena hal itu menyangkut legitimasi dari klaim kemenangan mereka di Pilpres 2024.

"Saya rasa ini bukan soal perjuangan paslon 1 dan paslon 3, tapi juga paslon 2 supaya nantinya pas 20 Oktober 2024 ketika pelantikan presiden ini akan menjadi catatan sahnya pemerintah yang tidak diperdebatkan lagi legitimasinya," kata Deddy.

Quote