Ikuti Kami

Panda Nababan dan Peristiwa Losarang: Saksi Kekerasan Pemilu 1971 yang Dibungkam Orde Baru

Pemilu pertama masa Soeharto itu berlangsung penuh tekanan terhadap rakyat maupun jurnalis yang mencoba mengungkap fakta di lapangan.

Panda Nababan dan Peristiwa Losarang: Saksi Kekerasan Pemilu 1971 yang Dibungkam Orde Baru
Budayawan Hairus Salim - Foto: Capture Youtube TV 9 Nusantara

Ciputat, Gesuri.id – Pemilu 1971 di era Orde Baru tak hanya meninggalkan catatan politik, tapi juga jejak kelam kekerasan, intimidasi, dan pembungkaman media. Budayawan sekaligus Gusdurian, Hairus Salim, menyingkap bagaimana jurnalis seperti Panda Nababan menjadi saksi sekaligus korban represi negara saat mencoba mengungkap kebenaran di lapangan.

“Pemilu 1971 bukan Pemilu biasa. Banyak desa dihancurkan secara sosial dan psikologis. Warga hidup dalam ketakutan, media ditekan, dan wartawan yang menulis kebenaran ditangkap,” ujar Hairus Salim dalam diskusi publik “NU, PNI dan Kekerasan Orde Baru" di Ciputat, Jumat (7/11).

Salah satu kisah paling mencolok adalah Peristiwa Losarang, Jawa Barat — wilayah yang menjadi lokasi intimidasi aparat terhadap warga menjelang Pemilu 1971. Panda Nababan, kala itu wartawan muda, menulis laporan investigatif tentang kekerasan dan penghancuran sosial di desa-desa Losarang.

Namun laporan itu segera ditarik paksa oleh militer, dan Panda bersama seorang wartawan asal Jepang ditangkap serta diinterogasi karena memberitakan fakta di lapangan.

“Dia ditangkap karena memberitakan penghancuran desa-desa di Jawa Barat. Bahkan wartawan Jepang yang bersamanya pun ikut ditahan. Mereka baru dilepaskan setelah ada tekanan internasional,” jelas Hairus.

Panda Nababan dikenal sebagai salah satu wartawan paling berani di masa itu. Ia kerap menyingkap kasus besar rezim Orde Baru melalui laporan investigatif — dari megakorupsi Pertamina, penyelewengan aparat di Tanjung Priok dan Halim Perdanakusuma, hingga penyelundupan mobil mewah pada awal 1970-an. Namun keberaniannya dibayar mahal dengan ancaman, tekanan, hingga pembungkaman dari penguasa.

Bagi Hairus Salim, kekerasan yang terjadi dalam Pemilu 1971 bukan hanya terhadap elite politik, tetapi juga menyentuh rakyat kecil. Ia menuturkan kisah seorang anak yang kehilangan kakeknya — seorang aktivis NU — yang diculik tentara menjelang pencoblosan dan disiksa di markas militer.

“Itu menunjukkan, kekuasaan tanpa kontrol selalu berujung pada kekerasan,” tegasnya.

Ia menilai, kisah seperti yang dialami Panda Nababan perlu terus diangkat agar publik tak melupakan represi yang terjadi di bawah kekuasaan Soeharto.

“Perjuangan kita adalah melawan lupa. Negara ini harus belajar bahwa demokrasi sejati tak bisa hidup dalam ketakutan,” ujarnya.

Selain kekerasan politik, Hairus juga menyinggung bentuk perlawanan kultural melalui sastra dan seni pada masa itu. Ia mencontohkan penyair WS Rendra dan Gunawan Mohammad yang menggunakan puisi sebagai bentuk kritik terhadap rezim.

“Rendra pernah membacakan puisi Catatan Seorang Demonstran, tapi langsung dilarang tayang. Bahkan seni pun diawasi ketat,” tutur Hairus.

Menurut Hairus, mengingat kembali tragedi Pemilu 1971 dan keberanian wartawan seperti Panda Nababan menjadi penting agar generasi muda tak terjebak glorifikasi terhadap figur otoriter.

“Soeharto bukan pahlawan. Di balik pembangunan, ada darah dan air mata rakyat yang dibungkam,” pungkasnya.

Quote