Jakarta, Gesuri.id — Suasana hening menyelimuti ruang diskusi publik bertajuk #SoehartoBukanPahlawan ketika Aminatun Najariyah, penyintas peristiwa Tanjung Priok 1984, mulai menceritakan kisah kelam yang dialaminya di masa Orde Baru.
Dengan suara bergetar, perempuan berhijab yang kini berusia 68 tahun itu menuturkan bagaimana dirinya ditangkap, disiksa, dan dilecehkan hanya karena mengenakan jilbab dan berupaya melindungi keluarganya.
“Waktu itu, saya hanya perempuan biasa yang tinggal di rumah. Tapi karena memakai jilbab, saya dianggap radikal. Kakak saya ditangkap, dan ketika saya mencoba melindunginya, justru saya ikut diseret,” ujar Aminatun dalam diskusi "Soeharto Bukan Pahlawan" yang digelar di Jakarta, Rabu (5/11).
Aminatun menuturkan, pada masa itu rezim Soeharto melarang siswi sekolah negeri memakai jilbab dengan alasan menjaga “persatuan nasional”. “Jilbab dicap sebagai simbol radikalisme. Bayangkan, hanya karena pakaian, kami bisa dianggap musuh negara,” katanya.
Ia mengisahkan malam penangkapannya yang berlangsung brutal. Aparat militer datang ke rumahnya, mendobrak pintu, dan menyeret seluruh keluarga ke dalam truk.
“Saya melihat sendiri kakak saya disiksa. Kami dibawa ke kantor polisi, diputar-putar semalaman, tidak diberi makan. Sekalinya diberi makan dilempar seperti binatang. Saya sempat ditelanjangi dan dilecehkan,” ucapnya dengan nada tertahan.
Selama ditahan di Cimanggis selama 40 hari, Aminatun mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis. “Saya tidak diberi makan selama tiga hari. Air minum pun saya buang karena takut diracun. Saya ditelanjangi, disiksa, bahkan ditakut-takuti akan dibunuh,” kenangnya.
Ia juga menceritakan bagaimana para tahanan perempuan menjadi tontonan tentara. “Perempuan yang ditangkap waktu itu masih langka. Mereka penasaran, melihat kami dari atas, bahkan menertawakan kami. Itu pelecehan yang sangat menyakitkan,” katanya.
Setelah dipindahkan ke rumah sakit, Aminatun justru diberi obat-obatan yang membuatnya kehilangan ingatan. “Saya diberi obat tidur agar lupa. Setelah keluar rumah sakit, saya tidak mengenal teman, dosen, bahkan keluarga sendiri,” ucapnya lirih.
Dalam kesaksiannya, Aminatun menegaskan bahwa Soeharto tidak pantas disebut pahlawan karena telah menindas rakyatnya sendiri. “Apakah pantas seorang pemimpin yang memerintahkan penangkapan, penyiksaan, dan pelecehan terhadap rakyatnya disebut pahlawan? Tidak,” tegasnya disambut tepuk tangan hadirin.
Ia mengingatkan generasi muda agar tidak melupakan sejarah kelam bangsa. “Kalau hari ini masih ada yang ingin memberi gelar pahlawan kepada Soeharto, artinya kita sedang menampar para korban. Kami tidak menuntut balas, kami hanya ingin kebenaran,” kata Aminatun.
Diskusi publik #SoehartoBukanPahlawan yang digelar di Jakarta ini menghadirkan berbagai narasumber lintas generasi, termasuk aktivis 98 Ansy Lema dan aktivis Gen Z Virdian Aurellio, yang sama-sama menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
















































































