Ikuti Kami

Di Seminar PDIP, Febri Diansyah: Bencana Sumatera Bukti Korupsi Ekologis, Norma Hukum 'Karet' Melanggengkan Korupsi

Mantan Jubir KPK Kecam Norma Abstrak: Korupsi Dijadikan Alat Politik Otoritarian, Ancam Keadilan Sosial

Di Seminar PDIP, Febri Diansyah: Bencana Sumatera Bukti Korupsi Ekologis, Norma Hukum 'Karet' Melanggengkan Korupsi
Praktisi Hukum sekaligus mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah - Foto: DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id – Praktisi Hukum sekaligus mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, menyatakan bahwa bangsa Indonesia hingga kini belum selamat dari perilaku koruptif. 

Ia menegaskan, bukti nyata kegagalan pemberantasan korupsi ditunjukkan secara komplit oleh situasi bencana alam yang terjadi, khususnya di Sumatera, yang merupakan hasil dari korupsi di sektor lingkungan hidup dan kehutanan.

Pernyataan ini disampaikan Febri dalam Seminar Nasional Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia di Sekolah Partai PDI Perjuangan, Jakarta, pada Selasa (9/12/2025). 

Menurutnya, dirinya sengaja memberi judul 'Refleksi' karena bangsa ini belum berada di titik selamat dari perilaku koruptif. Febri memaparkan data mengejutkan yang menunjukkan signifikansi korupsi di sektor politik. 

Dari tahun 2004 hingga Oktober 2025, tercatat total 565 perkara korupsi politik yang melibatkan anggota DPR, DPRD, dan Kepala Daerah. Modus utama dari korupsi ini adalah suap terkait izin, seperti perizinan di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

"Bukan sekedar kayu-kayu yang ditebang, tetapi bagaimana transaksi terjadi antara pihak yang punya kewenangan—kombinasi birokrasi dan politik—yang kemudian mengeluarkan izin," jelas Febri.

Ia memberi contoh, dalam salah satu perkara, nilai suapnya hanya sekitar 1,5 miliar rupiah, namun nilai tegakan pokok kayu yang hilang di sana mencapai lebih dari ratusan miliar, belum lagi dampak ekologisnya. 

Praktik-praktik suap dan perizinan ini kemudian menjadi salah satu sumber utama untuk men-support kegiatan dana politik.

Febri menyoroti persoalan serius dalam penegakan hukum saat ini, yaitu adanya norma-norma yang sifatnya abstrak atau 'karet'. Norma ini, kata Febri, berpotensi menjadi abuse of power. 

Ia menjelaskan, jika penegakan hukum hanya menyerang gejala atau memproses individu, padahal korupsi adalah masalah institusional, hal itu akan menimbulkan ilusi dalam penegakan hukum.

"Korupsi sama dengan diskresi," ujar Febri, mengutip teori Robert Klitgaard.

Febri memperingatkan, jika diskresi terlalu besar, norma abstrak dapat digunakan kekuatan politik untuk menyerang lawan-lawan politik, yang justru melanggengkan korupsi itu sendiri. 

Menurutnya, isu korupsi jauh lebih besar dari sekadar penangkapan; ia bisa dijadikan alat politik untuk mengontrol pihak-pihak yang kritis, yang pada akhirnya mengarah pada konsep otoritarianisme.

"Tujuan pemberantasan korupsi sebenarnya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat," ujarnya. 

Ia menyimpulkan, kasus bencana di Sumatera saat ini menunjukkan bahwa kekuatan bisnis terus diuntungkan di balik izin-izin kebun, yang semakin kaya di tengah masyarakat yang menderita.

Untuk perbaikan mendasar, Febri merekomendasikan komitmen pimpinan di level tertinggi sebagai starting point, diikuti dengan upaya menghentikan perumusan regulasi yang bersifat abstrak hukum. 

Selain itu, penanganan korupsi sebaiknya berbasis dampak, yang secara langsung dirasakan masyarakat, dan tidak sekadar fokus pada kuantitas kasus. Terakhir, menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup harus menjadi prioritas utama, di mana kasus di Sumatera menjadi pelajaran paling berharga.

Quote