Jakarta, Gesuri.id — Tak banyak yang tahu, Gedung DPR/MPR RI yang berdiri megah di Senayan, Jakarta, awalnya bukan dirancang untuk lembaga legislatif.
Bangunan ikonik berkubah hijau itu sejatinya merupakan hasil dari gagasan besar Presiden Soekarno pada 1965, yakni Conefo (Conference of the New Emerging Forces) — sebuah konferensi negara-negara baru yang menolak dominasi kolonialisme Barat.
Menurut sejarawan sekaligus anggota DPR RI, Bonnie Triyana, gedung ini mencerminkan imajinasi besar Bung Karno tentang dunia yang lebih setara.
“Bung Karno ingin menghimpun bangsa-bangsa baru dari Asia, Afrika, hingga Amerika Latin untuk berdiri sejajar melawan penindasan. Gedung ini adalah simbol dari semangat pembebasan itu,” ujarnya dikutip dari Podcast Sudut Dengar Parlemen yang ditayangkan di TVR Parlemen beberapa waktu lalu.
Arsitektur gedung ini dirancang oleh Suyudi, dosen muda ITB, yang memenangkan sayembara pada tahun 1965. Uniknya, Suyudi tidak pernah menyebut desainnya menyerupai apa pun. “Ada yang bilang kura-kura, kepak Garuda, helm — semuanya sah. Tapi Bung Karno melihat lebih dari bentuk. Ia melihat imajinasi,” jelas Bonnie.
Sayangnya, Conefo tak pernah terselenggara akibat peristiwa politik 1965. Gedung yang belum sempat digunakan itu akhirnya dialihfungsikan, dan mulai digunakan untuk pelantikan Soeharto sebagai Presiden RI pada 1967. Sejak saat itulah, bangunan ini resmi menjadi Gedung DPR/MPR RI.
Bagi Bonnie, nilai yang terkandung dalam bangunan itu tak sekadar arsitektur. “Spirit anti-penindasan, kesetaraan, dan keberanian bermimpi besar adalah warisan yang harus terus dihidupkan. Sejarah bukan untuk dikagumi, tapi dijadikan pelajaran untuk bekerja bagi rakyat,” pungkasnya.

















































































