Ikuti Kami

Guntur Romli: Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Bisa Lukai Rasa Keadilan dan Sejarah Reformasi

Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, berpotensi menimbulkan luka sejarah baru

Guntur Romli: Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Bisa Lukai Rasa Keadilan dan Sejarah Reformasi
Politisi PDI Perjuangan Mohamad Guntur Romli - Foto: Tangkapan layar Kompas TV

Jakarta, Gesuri.id – Politisi PDI Perjuangan, Mohamad Guntur Romli, menegaskan bahwa usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, berpotensi menimbulkan luka sejarah baru di tengah masyarakat. Menurutnya, pemerintah perlu berhati-hati agar keputusan tersebut tidak menimbulkan kontroversi dan mencederai semangat reformasi yang lahir dari penolakan terhadap praktik kekuasaan Orde Baru.

“Perlu diingat, Orde Baru bukan sekadar masa pemerintahan, tetapi periode penuh pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan, dan praktik korupsi yang sistemik. Jangan sampai bangsa ini seperti kehilangan ingatan terhadap luka sejarahnya sendiri,” tegas Guntur dalam keterangannya menanggapi wacana yang kini tengah dibahas oleh Dewan Gelar, Penghargaan, dan Tanda Jasa yang diketuai Fadli Zon, Minggu (26/10/2025).

Pernyataan Guntur menanggapi langkah Kementerian Sosial yang sedang memproses sejumlah nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional, termasuk Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh buruh Marsinah, dan beberapa tokoh daerah lainnya.

Menurut Guntur, wacana pemberian gelar kepada Soeharto justru berpotensi menimbulkan perpecahan persepsi publik dan trauma bagi korban rezim Orde Baru. 

“Bangsa yang besar bukan bangsa yang menghapus sejarah kelamnya, tetapi yang mampu mengakui dan belajar darinya. Memberi gelar pahlawan pada figur yang erat dengan pelanggaran HAM justru berisiko mengaburkan nilai moral bangsa,” katanya.

Guntur yang juga dikenal sebagai Tokoh Muda NU ini menilai, semangat reformasi tidak boleh diabaikan. Ia mengingatkan bahwa gerakan reformasi lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi selama lebih dari tiga dekade masa Orde Baru.

“Reformasi 98 adalah koreksi terhadap kekuasaan absolut yang menindas rakyat. Kalau sekarang kita menempatkan tokoh utamanya sebagai pahlawan, itu artinya kita sedang menegasikan perjuangan reformasi itu sendiri,” ujar Guntur menegaskan.

Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyebut bahwa proses penetapan gelar Pahlawan Nasional masih dalam tahap pembahasan di tingkat Dewan Gelar. Kementerian hanya bertugas meneruskan usulan dari pemerintah daerah untuk kemudian dikaji lebih lanjut.

Meski demikian, Guntur berharap Presiden Prabowo Subianto mengambil keputusan dengan mempertimbangkan sensitivitas sejarah dan rasa keadilan masyarakat. 

“Kita semua menghormati hak Presiden untuk memutuskan, tetapi keputusan itu harus berpijak pada nilai-nilai kebenaran sejarah, bukan pada romantisme politik,” pungkasnya.

Quote