PEMERINTAHAN Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama periode 1966-1998 sering mendapatkan pujian atas pertumbuhan ekonomi dan stabilitas. Namun, di balik angka pertumbuhan yang tinggi, ada praktik sistemik pengkonsolidasian kekuasaan yang melibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Istilah “KKN” sendiri menjadi simbol era ini — di mana birokrasi, militer, bisnis, dan keluarga presiden saling terjalin dalam jaringan patron-klien yang kompleks.
Aktor Utama: Keluarga Cendana dan Kroni
Salah satu pilar penting dalam mekanisme KKN tersebut adalah keterlibatan langsung keluarga dan kerabat Soeharto, yang populer disebut “Keluarga Cendana”. Dalam banyak kajian, mereka diberikan akses istimewa terhadap proyek negara, investasi strategis, dan ruang bisnis yang lebar tanpa pengawasan transparan.
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut (putri sulung Soeharto) mendapat jabatan Menteri Sosial pada Maret 1998, beberapa bulan sebelum lengsernya Soeharto — menjadi contoh kuat nepotisme dalam struktur pemerintahan.
Bambang Trihatmodjo: Putra kedua Soeharto ini juga mengelola kerajaan bisnis yang luas, mencakup sektor perbankan, real estat, dan media, yang berkembang pesat berkat fasilitas dan monopoli yang diberikan oleh rezim Orde Baru
Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) terlibat dalam proyek mobil nasional (TIMOR) dan monopoli perdagangan cengkeh, membuktikan bagaimana pengaruh keluarga melebar ke sektor ekonomi strategis.
Yayasan-yayasan milik keluarga dan kroni, seperti Yayasan Supersemar, menjadi saluran dana dan aset yang kemudian dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
Mekanisme: Patronase, Militerisme & Ekonomi Tertutup
Kajian oleh Untarawati dan lainnya memotret bahwa praktik KKN pada Orde Baru terhubung erat dengan militerisme dan patronase politik. Struktur dwi fungsi ABRI, pengendalian media, dan fragmentasi politik memudahkan penguasa memperkuat jaringan bisnis dan kekuasaan di luar mekanisme demokratis.
Sebagai ilustrasi:
Kebijakan proteksi impor dan monopoli bisnis memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu — misalnya Panca Holding atau importir tunggal plastik.
Dalam struktur kekuasaan, tiga “kaki” oligarki diidentifikasi: istana (keluarga & kerabat), tangsi (militer & aparat keamanan), dan partai penguasa (Golkar) yang menjadi kendaraan politik kekuasaan.
Dampak Ekonomi & Sosial
Meski rezim ini berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar +6,7 % per tahun antara 1965-1996, sistem KKN tetap menggerogoti keadilan sosial, pengelolaan negara, dan kepercayaan publik.
Dampaknya meliputi:
Akses peluang ekonomi yang timpang: hanya kelompok dekat kekuasaan yang mendapatkan izin, akses proyek, dan kemudahan.
Kesenjangan sosial yang melebar, karena sebagian besar rakyat kecil tidak mendapatkan akses yang sama terhadap peluang pembangunan.
Penurunan kualitas institusi publik dan lemahnya pengawasan: meskipun ada lembaga antikorupsi awal seperti TPK (1967), efektivitasnya terbatas.
Faktanya dalam Hukum & Reformasi
Setelah lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, gelombang reformasi muncul sebagai reaksi terhadap tingginya praktik KKN dan pelanggaran hak asasi manusia di era sebelumnya.
Beberapa fakta hukum yang mencerminkan ini: Pada 31 Maret 2000, kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka dalam kasus tujuh yayasan, termasuk Yayasan Supersemar. Namun pada 11 Mei 2006, penuntutan dibatalkan atas dasar alasan kesehatan.
Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 secara resmi memerintahkan pemberantasan KKN, termasuk terhadap mantan Presiden dan kroninya.
Walau rezim Orde Baru telah berakhir lebih dari dua dekade, warisan KKN tersebut masih terasa hingga kini dalam demokrasi dan birokrasi Indonesia. Beberapa alasan mengapa pembahasan ini penting: Pertama, sebagai memori kolektif untuk memahami bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan membantu mencegah pengulangan pola yang sama.
Kedua, mendorong reformasi kelembagaan: meski lembaga antikorupsi dan desentralisasi dibangun, tantangan masih besar. Pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas masih lemah. Ketiga, dinasti kekuasaan dan bisnis: jejak konglomerasi keluarga presiden dan pengaitannya dengan negara masih menjadi isu publik.
Kemudian keempat, budaya politik orang-dalam: Praktik patronase dan jaringan elit masih sering terjadi dalam birokrasi dan pemerintahan daerah.
Selain itu, ada delapan Keppres zaman Soeharto yang menguntungkan keluarganya, yaitu:
1. Keppres No 36/1985 tentang Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang atas Penyerahan dan Impor Barang Terkena Pajak Tertentu Ditanggung Pemerintah. Keppres ini membuka keran KKN untuk pajak impor yang belum ada di Indonesia.
2. Keppres No 74/1995 tentang perlakuan pabean dan perpajakan atas impor atau penyerahan komponen kendaraan bermotor sedan untuk dipergunakan dalam usaha pertaksian. Dengan keppres ini, Taksi Citra milik Mbak Tutut yang menggunakan mobil Proton Saga mendapat pembebasan pajak pertambahan nilai.
3. Keppres No 86/1994, berisi pemberian hak monopoli distribusi bahan peledak yang diberikan kepada dua perusahaan, yaitu kepada PT Dahana untuk kepentingan militer sedang distribusi komersial diberikan kepada PT Multi Nitroma Kimia (sahamnya sebesar 30 persen milik Hutomo Mandalaputra, 40 persen milik Bambang Trihatmodjo melalui PT Bimantara, dan sisanya PT Pupuk Kujang).
4. Keppres No 81/1994 tentang Penetapan Tarif Pajak Jalan Tol: Keppres ini menguntungkan kerabat dan kolega Soeharto.
5. Keppres No 31/1997 tentang Izin Pembangunan Kilang Minyak oleh Swasta: Keppres ini menguntungkan kerabat dan kolega Soeharto. 6. Keppres No 1/1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri Keppres ini menguntungkan kerabat dan kolega Soeharto.
7. Keppres No 93/1996 tentang Bantuan Pinjaman kepada PT Kiani Kertas: Keppres ini merugikan masyarakat dan negara.
8. Keppres No 42/1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional: Menguntungkan anak-anak Soeharto karena proyek pembuatan mobil nasional dikuasai oleh anak-anak Soeharto
Rezim Orde Baru dibangun di atas fondasi stabilitas dan pembangunan, tetapi juga dibayangi oleh praktik praktis KKN yang melembaga. Sistem yang memungkinkan keluarga, kroni, militer, dan partai penguasa berbagi kursi kekuasaan dan bisnis secara tertutup telah merusak keadaban publik dan demokrasi. Untuk generasi kini dan mendatang, mengenali pola tersebut bukan sekadar nostalgia sejarah—melainkan upaya preventif agar kekuasaan terkontrol, negara melayani rakyat, bukan sebaliknya.
Referensi:
https://nasional.kompas.com/read/2024/09/29/10462671/soeharto-citra-nepotisme-dan-ketetapan-mpr-11-1998?page=all
https://www.inilah.com/nepotisme-musuh-yang-dilupakan-reformasi
https://wartaekonomi.co.id/read337464/tmii-dalam-genggaman-negara-bakal-caplok-aset-lain-milik-keluarga-warisan-soeharto
Ini 8 Keppres Nepotisme Era Soeharto Hasil Riset Ketua Pukat UGM": https://batamnews.co.id/berita-41335-ini-8-keppres-nepotisme-era-soeharto-hasil-riset-ketua-pukat-ugm.html
















































































