Jakarta, Gesuri.id – Sorakan lantang menggema di sebuah rumah makan tempat berlangsungnya Diskusi Publik “Soeharto Bukan Pahlawan”, Rabu (5/11). Dipimpin oleh moderator Mayangsari Putri, ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Jabodetabek kompak menjawab pertanyaannya: “November, N-nya apa?” Serentak, mereka menjawab, “Nolak Soeharto Jadi Pahlawan!”
Mayangsari memimpin jalannya diskusi dengan semangat dan reflektif. Ia menekankan pentingnya generasi muda menjaga ingatan sejarah, bukan untuk menumbuhkan dendam, tetapi untuk memastikan keadilan dan kebenaran tidak dikubur oleh waktu.
“Tadi kita belajar soal perjuangan dan konsistensi dari Ibu Aminatun Najariyah, korban tragedi Tanjung Priok saat rezim diktator Soeharto berkuasa,” ujar Mayangsari. “Beliau menyampaikan tentang keberanian untuk mengingat meski sakit. Dari sana kita belajar bahwa menolak Soeharto jadi pahlawan bukan berarti menolak masa lalu, tapi menolak pemutihan atas kesalahan.”
Menurut Mayangsari, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang melupakan, melainkan bangsa yang berani mengakui dan memperbaiki masa lalunya. Ia juga mengapresiasi kehadiran para pembicara dari berbagai latar belakang — mulai dari penyintas tragedi kemanusiaan hingga aktivis muda — yang bersama-sama menghidupkan kesadaran sejarah di tengah generasi baru.
“Kita semua, baik akademisi, aktivis, maupun mahasiswa, punya peran untuk terus bersuara lewat cara kita masing-masing. Kesadaran kolektif ini adalah bentuk keberanian untuk menolong kebenaran,” tambahnya.
Diskusi tersebut menghadirkan Ibu Aminatun Najariyah, penyintas tragedi Tanjung Priok 1984; Ansy Lema, aktivis 98; serta Virdian Aurellio, aktivis muda generasi Z. Dalam forum ini, mereka berbagi pandangan tentang bahaya melupakan sejarah dan pentingnya menolak upaya pencucian nama pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Di penghujung acara, Mayangsari kembali mengajak peserta meneriakkan seruan penutup dengan semangat yang sama: “November, N-nya apa?” Dan tempat diskusi kembali bergemuruh, “Nolak Soeharto jadi pahlawan!
