Ikuti Kami

Ber(usaha) Kaffah Berhijrah Ke Syariah

Oleh: Indah P. Nataprawira, Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Keuangan Syariah yang juga Kader PDI Perjuangan.

Ber(usaha) Kaffah Berhijrah Ke Syariah
Indah P. Nataprawira (kanan), Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Keuangan Syariah yang juga Kader PDI Perjuangan saat bersama Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputra.

Jakarta, Gesuri.id - Melewati kepemimpinan 6 presiden, dari zaman koran dibredel, reformasi hingga eforia demokrasi bahkan masuk ke zaman di mana setiap yang punya HP bisa membuat “stasiun TV sendiri”, ekonomi Syariah seolah jalan di tempat. Ekonomi Syariah berkutat pada urusan riba Bank. Atau bahkan, label syariah sendiri dalam industri terkesan berurusan hanya perkara make up dan shampoo untuk hijaber yang berkibar di seantero negeri.

Bila sketsa karikatural ekonomi syariah di atas adalah benar, maka hijrah dalam bidang ekonomi terasa nanggung sekali. Dengan potensi umat Islam yang melimpah, sepantasnya Indonesia mampu jadi juara dalam pengembangan ekonomi syariah. Pertanyaannya, dengan kondisi saat ini yang jauh dari ideal, kapan kita kaffah berhijrah secara ekonomi?, dalam arti kapan ekonomi Syariah akan membawa faedah hingga ke kelompok paling bawah.

Pastinya, tidak ada yang mendadak dalam bersyariah, termasuk dalam bidang ekonomi. Terpenting adalah komitmen bersama untuk membangun dan memajukan ekonomi Syariah sebagai alternatif topangan ekonomi bangsa. Ngilu rasanya, 30 tahun lebih berdiri di tempat seperti "distrap". Untuk bisa memapankan ekonomi Syariah, jelas butuh persiapan. Sungguh, ini bukan hanya masalah peraturan atau kebijakan, ini masalah kebudayaan dalam konteks mental dasar ber-Syariah yakni berbagi berkah dan maslahah.

Kalau ada yang mengira ekonomi Syariah di negeri tercinta ini sesuatu yang baru mengemuka, salah besar. Sejarah mencatat begitu berlimpah kearifan lokal yang yang telah mendarah daging dalam nafas kehidupan masyarakat dalam praktik ekonomi syariah.Seperti Konsep bagi hasil, yang dalam ekonomi Islam dikenal sebagai mudharabah (bagi hasil), sesungguhnya telah dipraktikan oleh masyarakat, khususnya di Jawa, secara turun temurun dengan nama paroan, yakni berbagi keuntungan antara pemodal dan pekerja.

Hal ini dipraktikan dalam menggarap lahan pertanian di desa-desa, dimana petani penggarap menggarap sawah atau pemilik lahan, kemudian ketika panen hasilnya dibagi dua (separo). Selalu ada prinsip yang menjadi ciri yang mengikat yakni keadilan dan pemerataan, berkah dan maslahah, yang semuanya adalah manifestasi dari konsep Syariah.

Dalam konteks kekinian, jika anak kantoran gajinya habis dan anak kos-kosan nasibnya tragis di tengah bulan karena menikmati kopi di mall, sedikit-sedikit hangout di mall agar tidak dianggap “lemot” pada pergaulan, sementara kopi starling cuma dianggap minuman kuli, disitu kita sedang menghadapi anomali. Padahal, salahsatu spirit syariah dalam ekonomi adalah berbagi berkah pada yang di bawah.

Oleh karena itu, untuk memapankan ekonomi Syariah diniscayakan perubahan mindset anak bangsa di perkotaan maupun pedesaan. Pekerjaan rumah level negara. Dengan demikian, totalitas dalam bersyariah secara ekonomi tidak hanya soal nabung di bank, bukan pula sekedar beli shampo biar pake hijab serasa ada ac-nya dan biar "berpupur" tapi imannya gak luntur.

Bersyariah yang total itu meliputi, pasar keuangan di luar perbankan, ada asuransi dan investasi. Produk halal dari shampoo sampai terasi perlu diberi hati karena kategori syar’i tak boleh didominasi hanya oleh pelaku industri skala besar, tapi manfaatnya harus dapat dirasakan bersama. Dalam skala industri anak negeri, perlu difasilitasi supaya dengan kelompok berkapital besar mampu berdiri sama tinggi.

Dalam konteks industri, wajar jika kita punya visi, produk syar’i dalam negeri bisa memiliki pelabuhan sendiri yang mengantarnya berkibar sampai pasar luar negeri. Dana sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain-lain, jika tersedia blueprint yang jelas, manfaatnya bukan hanya bisa jadi bangunan fisik, tapi jauh lebih mulia, membangun peradaban, yang darinya lahir cerdik cendikiawan yang menjadikan kita bangsa produktif tak hanya konsumtif.

Saat wabah pandemi Covid 19 melanda negeri, kita sebagai mahluk ekonomi mendadak kembali jadi mahluk sosial lagi. Karena "kepepet", jatah hangout di mall dibagi untuk jatah nongkrong di warung. Jatah beli steik di restoran mewah dibagi untuk jatah beli gorengan. Jatah yang kita keluarkan untuk bikin tambah kaya orang di atas, kita bagi untuk menyejahterakan orang di bawah. 

Bila hal tersebut dilakukan, maka tanpa sadar kita bersyariah, karena ada keadilan dan pemerataan di dalamnya. Hal ini setarikan nafas dengan bergeraknya ekonomi kerakyatan, setujuan dengan meratanya kemajuan dan tegaknya keadilan dalam kesejahteraan. Semua elemen masyarakat, mulai dari aktifis tiktok sampai aktifis demokrasi, dari selebgram sampai selebriti politik bahkan negara, dipaksa belajar untuk memperaktekan kebajikan luhur dalam keseharian.

Memasuki Ramadhan kedua dalam pusaran pandemi bisa menjadi momentum kebersamaan. Berjamaah mempersiapkan habitat kebudayaan dan mental untuk mengakselerasi kemapanan ekonomi Syariah. Gerak total setiap anak negeri dalam ekonomi syariah harus memberi faedah bagi masyarakat bawah, mulai dari hal-hal serderhana seperti berbagi kesejahteraan dengan tetangga terdekat, hingga jauh melesat membawa kejayaan potensi umat Islam Indonesia dalam pergaulan ekonomi dunia.

Saat ini, setelah 30 tahun ekonomi Syariah berdiri di tempat, sudah sepatutnya kita memperkuat dan melesatkannya, dengan menebar manfaat untuk umat, membantu meningkatkan partisipasi pelaku ekonomi Syariah di level bawah untuk bertahan dan bangkit. Selain itu, hal yang lebih subtansial adalah mengupayakan perluasan wawasan dan mindset kita agar mampu mengembangkan ekonomi syariah secara progresif karena dalam kesempitan wawasan, makna dan manfaat ekonomi syariah dimiskinkan. Iqra’ Bismi Robbika. Dilansir dari pdiperjuangansumut.

Quote