Jakarta, Gesuri.id - Di tanah air yang penuh dengan dinamika politik dan kekuasaan, angka-angka bukan sekadar hitungan biasa. Mereka menjadi tenger (penanda), sasmita (isyarat), dan kawruh (ilmu) yang sarat makna.
Dalam arus sejarah yang mengalir deras seperti banyu mili (air mengalir), muncul sosok Hasto Kristiyanto yang kembali mengguncang panggung kekuasaan di Indonesia.
Semua bermula dari angka tujuh, yang dalam filosofi Jawa disebut pitulungan, simbol pertolongan. Angka ini melekat pada Presiden ke-7, sosok yang bukan hanya pemimpin negara, tapi juga dalang utama dalam pertunjukan kekuasaan.
Ia mendapat bantuan dari penegak hukum, membuka jalan bagi semua agendanya, termasuk memenjarakan Hasto, yang menurut sebagian pihak didorong oleh dendam pribadi.
Ketika ambisi Presiden itu untuk melanggengkan kekuasaan ditanggapi Hasto dengan sikap kritis, ia menolak tunduk dan berani memecat Presiden beserta putra dan menantunya.
Hasto menganggap tindaknya sebagai upaya menjaga marwah partai, namun pihak berkuasa menilai langkah itu sebagai pengkhiantan.
Semakin nyata, Hasto memilih berdiri sebagai suara kritis yang tak mau tunduk. Ia mengambil langkah berani dengan memecat sejumlah kader, termasuk Presiden beserta putra dan menantunya.
Bagi Hasto, ini adalah pilihan moral dan usaha menjaga marwah partai serta nurani. Namun, bagi kekuasaan, tindakan ini dianggap sebagai pengkhianatan.
Sejak saat itu, menurut kekuasaan, pintu-pintu karma politik terbuka. Namun bagi Hasto, ini bukan beban, melainkan takdir perlawanan harga yang harus dibayar atas keberaniannya menentang ambisi dan kesombongan penguasa.
Kemudian muncul angka delapan, yang dalam filosofi Jawa disebut mulyaning urip, simbol keseimbangan dan keluhuran hidup. Tujuh belas pengacara berdiri di sisi Hasto.
Angka 17 ini jika dijumlahkan (1 + 7) menjadi 8, sebuah pertanda keadilan dan kelahiran kembali. Angka delapan juga menjadi tanda windu, yaitu satu siklus delapan tahun yang menandai perjalanan waktu.
Kini hadir Presiden ke-8, penguasa baru di panggung negara, yang mengeluarkan keputusan yang memicu pertarungan antara kekuasaan dan kebenaran. Rakyat, yang berkontribusi penuh dan berjuang bersama, terus menulis sejarahnya dengan penuh harap dan kesadaran.
Cerita belum berakhir, karena angka sembilan mulai muncul. Hasto kini mengenakan rompi bernomor 18 (1 + 8 = 9), perkara hukumnya bernomor 36 (3 + 6 = 9), dan keputusan Presiden jatuh pada tanggal 1 Agustus (tanggal 1 + bulan ke-8 = 9) dan pada hari itu juga Hasto keluar dari rumah tahanan.
Dalam kebudayaan Jawa, angka sembilan (sanga) adalah puncak laku spiritual, terwujud dalam Sanga Warna pada wayang yang melambangkan fase tertinggi kehidupan batin.
Saat Hasto ingin melakukan ritual larung sukma, membuang beban ke laut agar jiwa kembali suci, ia hanya sempat mencuci rompinya. Sebuah tindakan simbolik. Karena keterbatasan ruang dan waktu, ia tidak jadi melarung ke laut, melainkan melarungkannya ke dalam batin sendiri.
Rompi itu kini bukan sekadar pakaian, melainkan wasila (sarana) untuk pensucian dan perenungan batin. Angka sembilan dalam kawruh Jawa adalah ngelmu puncak, simbol kesempurnaan dan akhir dari siklus jagat.
Ia melambangkan sangkan paraning dumadi, yaitu asal-usul dan tujuan hidup makhluk ciptaan.
Kosmos seolah menahbiskan angka ini pada Hasto bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai kodrat tugas agung dalam perjalanan batin dan sejarah bangsa. Tahun 2025 juga membawa angka sembilan, karena jika dijumlahkan (2 + 0 + 2 + 5) hasilnya 9. Ini menjadi penegasan bahwa babak baru dalam kisah Hasto adalah puncak dan penyempurnaan siklus perjalanan hidup dan perjuangan politiknya.
Dalam pusaran angka 7 (pitulungan), 8 (mulyaning urip), dan 9 (sangkan paraning dumadi), kisah Hasto bukan hanya soal persoalan hukum. Ia adalah lakon wayang yang disusun oleh semesta dan dijalani manusia. Sebuah simfoni kosmik Jawa, tempat angka menjadi mantra, tanggal menjadi pawukon, dan keputusan menjadi bagian kode takdir.
Apakah semua ini kebetulan? Ataukah sudah tertulis dalam laladan batin? Hanya Sang Hyang Widhi yang tahu. Namun, angka-angka ini berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang eling lan waspada (sadar dan berhati-hati).
Salam Budaya.