Jakarta, Gesuri.id — Seluruh kader PDI Perjuangan diminta untuk tetap berpijak pada semangat perjuangan rakyat kecil dan tidak melupakan sejarah kelam peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli. Seruan ini disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat dan Kepala Bidang Sejarah DPP PDI Perjuangan, Bonnie Triyana, dalam sambutan pembukaan talkshow bertajuk Peristiwa 27 Juli 1996 sebagai Tonggak Demokrasi Indonesia di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025).
Djarot menekankan bahwa PDI Perjuangan lahir dari rahim wong cilik, bukan partai borjuis atau kapitalis.
“Kita adalah partainya wong cilik. Peristiwa 27 Juli menunjukkan kalau wong cilik itu bersatu, meskipun dihantam, ditekan, dia akan bangkit dan melawan. Dia tidak akan pernah mati,” tegasnya.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Menurutnya, Kudatuli merupakan sejarah penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia karena menunjukkan betapa brutalnya kekuasaan Orde Baru dalam menumpas oposisi politik. Ia menyebut penyerangan terhadap Kantor DPP PDIP tahun 1996 sebagai tindakan kekerasan vulgar yang mencederai hak berserikat dan berbicara.
“Yang diserang malah ditangkap dan dihukum, sementara yang menyerang justru berpesta pora di atas darah dan air mata rakyat. Ini tidak boleh dilupakan,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Djarot juga menyinggung bahaya demokrasi yang menyimpang, ketika kekuasaan hanya menjadi alat segelintir elite untuk memperkaya diri, bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ia mengkritik maraknya korupsi, manipulasi konstitusi, dan gaya hidup elite yang menjauh dari nilai-nilai perjuangan.
“Jangan sampai kita menjadi mandor kalak, kerja kendor makan kuat. Jangan jadi kaya karena korupsi dan mengeruk sumber daya rakyat. Kekuasaan itu adalah ujian yang sesungguhnya,” ujarnya.
Ia juga menyinggung dugaan kriminalisasi terhadap PDIP melalui kasus hukum Sekjen Hasto Kristiyanto yang kritis terhadap pemerintah, sementara kasus-kasus besar seperti fasilitas private jet, proyek infrastruktur di Sumut, dan Blok Medan tak kunjung diusut.
Sementara itu, Bonnie Triyana menegaskan bahwa peringatan Kudatuli bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan upaya merawat ingatan kolektif atas sejarah perjuangan demokrasi.
“Sejarah sering kali direkayasa karena kekuasaan takut pada ingatan. Tapi makin ditekan, makin kuat kita mengingatnya,” ujar Bonnie, yang juga anggota Komisi X DPR RI.
Ia menyebut kehadiran lebih dari 500 peserta dalam acara ini sebagai bukti bahwa PDIP masih memiliki tempat di hati rakyat. Bonnie juga mendorong agar peristiwa Kudatuli diakui secara resmi sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
Baca: Ganjar Dorong Delapan Parpol di DPR RI Duduk Bersama
“Kami minta peristiwa 27 Juli ini ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat ke-13, karena jelas negara saat itu ikut mengintervensi kedaulatan partai politik,” katanya.
Talkshow ini menghadirkan sejumlah pelaku sejarah, seperti Ribka Tjiptaning dan Jacobus Mayong, serta sejarawan Hilmar Farid. Diskusi dimoderatori oleh anggota DPR RI, Denny Cagur. Acara ini bertujuan mengingatkan publik, khususnya generasi muda, bahwa demokrasi yang dinikmati hari ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan.
Terlihat hadir dalam rangkaian acara ini jajaran DPP PDIP seperti Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Mindo Sianipar, Wiryanti Sukamdani, Ronny Talapessy, dan Deddy Yevri Sitorus.
Hadir pula Wakil Sekjen DPP PDIP Yoseph Aryo Adhi Darmo serta Wakil Bendahara Umum PDIP Yuke Yurike. Doa di acara itu dipimpin oleh Guntur Romli.